Hindu Bersuara--Dikisahkan Diti meminta anugerah kepada suaminya (Rsi Kasyapa), untuk memberikan anugrah agar bisa memiliki seorang putra yang bisa membunuh Indra. Namun Kasyapa merasa berat hati. Karena para Dewa juga adalah putranya, meskipun dari istri yang lain yaitu Aditi.
Kasyapa kemudian memberitahukan persyaratannya, bahwa Diti harus melakukan ritual menjaga kesucian lahir batin selama seratus tahun. Dan jika berhasil maka dia akan benar-benar melahirkan seorang anak yang akan sanggup membunuh Indra. Akan tetapi jika dia gagal, maka putranya itu akan menjadi sahabat dewa Indra. Dan persyaratan itu pun diterima oleh Diti.
Istri Rsi Kasyapa |
Maka Diti mulai melakukan tapasnya yang hebat agar dia bisa mendapatkan putra yang diinginkannya. Akan tetapi dewa Indra mengetahui apa yang menjadi rencana Diti. Indra pun berkeliaran disekitar pertapaan Diti, berpura-pura membantu bibinya mencari buah, umbi-umbian dan kayu dari hutan. Namun sebenarnya itu hanyalah berpura-pura saja. Ia sebenarnya berusaha mencari jalan untuk mencari kekurangan atau tindakan tidak suci yang mungkin saja dilakukan oleh Diti.
Sembilan puluh tahun telah berlalu. Dan saat itulah kali pertama Diti melakukan kesalahannya. Dia begitu lelah hingga tertidur pulas, dengan posisi kepala ada di pahanya. Dalam proses inilah rambutnya menyentuh kakinya. Dan ini adalah sebuah tindakan yang tidak suci.
Maka dalam waktu sekejap Indra bisa menangkap kesempatan itu. Dan karena Diti telah melakukan tindakan yang tidak suci, Indra dengan mudah masuk ke dalam tubuh Diti. Ini kemudian memasuki rahim Diti dan menemukan adanya janin disana. Indra yang terkenal memiliki sebuah senjata yang dahsyat dinamakan Vajra (kadang senjata ini diindentikan dengan halilintar, dan kadang sebagai tombak kecil), dengan senjata itu ia memotong tubuh janin menjadi tujuh bagian. Bagian janin yang dipotong itu mulai menangis dan Indra berkata, “Ma ruda”, yang berarti, “Jangan menangis”.
(Cerita diatas terdapat pada Buku Vayu Purana Bibek Debroy dan Dipavali Debroy terjemahan Oka Sanjaya)
Pesan moral kisah di atas ialah:
Ambisi jahat Diti, tidak akan pernah terwujud. Karena sifat iri dan dengki membuatnya lemah. Serta penyucian dirinya yang dilakukannya, bukan dari ketulusan hati melainkan ada unsur-unsur dendam. Inilah sifat yang harus dihindari sebagai manusia. Pentingnya melakukan penyucian diri adalah untuk mendekatkan diri dengan Tuhan. Kesucian ini bukan hanya penyucian diri, tetapi juga penyucian niat. Niat yang dilandasi dendam akan menghasilkan kekotoran batin. Sebaliknya jika niat baik pasti menghasilkan yang baik.
Diti merupakan contoh sosok yang ditutupi oleh Avidya (ketidaktahuan). Sehingga kesuciannya pun menjauh darinya. Sejalan dengan hal ini, terdapat dalam Manava Dharma Sastra menyatakan sebagai berikut:
Adnyjirgatrani çuddhyanti
Amanah satyena suddhyati
Vidyatapobhyam bhutatma
Buddhir jnanena suddhyati
(Manava Dharma Sastra V.109)
Terjemahan:
“Tubuh dibersihkan dengan air, pikiran dengan kebenaran, jiwa dibersihkan dengan pelajaran suci dan tapa brata, akal dibersihkan dengan kebijaksanaan” (Susila dkk, 2009:132-133).
Jadi pentingnya melakukan penyucian diri baik jasmani maupun rohani. Karena sebab dengan melakukan itu akan mendekatkan penyembah dengan yang disembah/ Tuhan. Dan bahkan segala tujuannya akan tercapai. Seperti yang dijelaskan dalam Katha Upanisad sebagai berikut:
Yas tu vijnanavan bhavati
Samanaskas sada sucih,
Sa tu tat padam apnoti
Yasmat bhuyo na jayate.
(Katha Upanisad I.8)
Terjemahan:
“Dia yang memiliki kesadaran, yang kuasa atas pikirannya yang senantiasa suci bersih, akan mencapai tujuan hidupnya dan karena itu ia tidak akan dilahirkan ke dunia ini lagi” (Susila dkk, 2009:75).
Demikianlah pentingnya penyucian diri lahir dan batin. Sehingga apa yang menjadi tujuan tercapai serta hidup ini mencapai kebahagiaan. penyucian diri menjadi pondasi awal dalam mencapai tujuan yang tertinggi yaitu Tuhan (Brahman). Seperti sebuah bangunan dengan pondasi yang kokoh maka bangunan itu akan berdiri dengan kuat. Maka itu untuk memperoleh sebuah kesucian tidak serta merta hanya suci jasmani saja, namun juga harus suci secara rohani sehingga antara jasmani dan rohani kecuciannya berjalan dengan seimbang. Tidak ada ketimpangan antara satu dengan yang lainnya. (Articles by Dewa Gede Wahyu., S.Pd.H)
Sumber Buku Pendukung:
*Debroy, Bibel dan Dipavali Debroy Terjemahan Oka Sanjaya. Vayu Purana. Surabaya: Paramita, 2006.
*Pudja, Gede, dkk. Manava Dharmasastra. Jakarta: CV. Felita Nusatama Lestari, 2002.
*Susila, I Nyoman, dkk. Modul Tata Susila Hindu. Jakarta: Ditjen Bimas Hindu Departemen Akan RI, 2009.
EmoticonEmoticon