Berita
Hindu - Yang dimaksud dengan Asta Kosala adalah aturan
tentang bentuk-bentuk niyasa (symbol) pelinggih, yaitu ukuran panjang, lebar,
tinggi, pepalih (tingkatan) dan hiasan.
Yang dimaksud dengan
Asta Bumi adalah aturan tentang luas halaman Pura, pembagian ruang halaman, dan
jarak antar pelinggih.
Aturan tentang Asta
Kosala dan Asta Bumi ditulis oleh Pendeta: Bhagawan Wiswakarma dan Bhagawan
Panyarikan. Uraian mengenai Asta Kosala khusus untuk bangunan Padmasana telah
dikemukakan pada bab: Hiasan Padmasana, Bentuk-bentuk Padmasana dan Letak
Padmasana.
Asta Bumi menyangkut
pembuatan Pura atau Sanggah Pamerajan adalah sebagai berikut:
Tujuan Asta Bumi adalah
Memperoleh kesejahteraan dan kedamaian atas lindungan Hyang Widhi Mendapat
vibrasi kesucian Menguatkan bhakti kepada Hyang Widhi Luas halaman Memanjang
dari Timur ke Barat ukuran yang baik adalah: Panjang dalam ukuran
"depa" (bentangan tangan lurus dari kiri ke kanan dari pimpinan/klian/Jro
Mangku atau orang suci lainnya): 2,3,4,5,6,7,11,12,14,15,19. Lebar dalam ukuran
depa: 1,2,3,4,5,6,7,11,12,14,15. Alternatif total luas dalam depa: 2x1,3x2,
4x3, 5x4, 6x5, 7x6, 11x7, 12x11, 14x12, 15x14, 19x15.bMemanjang dari Utara ke
Selatan ukuran yang baik adalah: Panjang dalam ukuran depa: 4,5,6,13,18. Lebar
dalam ukuran depa: 5,6,13. Alternatif total luas dalam depa: 6x5, 13x6, 18x13
foto asta kosala dan asta bumi (faceboo) |
Jika halaman sangat
luas, misalnya untuk membangun Padmasana kepentingan orang banyak seperti Pura
Jagatnatha, dll. boleh menggunakan kelipatan dari alternatif yang tertinggi.
Kelipatan itu: 3 kali, 5 kali, 7 kali, 9 kali dan 11 kali.
Misalnya untuk halaman
yang memanjang dari Timur ke Barat, alternatif luas maksimum dalam kelipatan
adalah: 3x(19x15), 5x(19x15), 7x(19x15), 9x(19x15), 11x(19x15).
Untuk yang memanjang
dari Utara ke Selatan, alternatif luas maksimum dalam kelipatan adalah:
3x(18x13), 5x(18x13), 7x(18x13), 9x(18x13), 11x(18x13).
HULU-TEBEN.
"Hulu"
artinya arah yang utama, sedangkan "teben" artinya hilir atau arah
berlawanan dengan hulu. Sebagaimana telah diuraikan terdahulu, ada dua patokan
mengenai hulu yaitu
- Arah Timur, dan Mengenai arah Timur bisa diketahui dengan tepat dengan menggunakan kompas.
- Arah kaja adalah letak gunung atau bukit.Cara menentukan lokasi Pura adalah menetapkan dengan tegas arah hulu, artinya jika memilih timur sebagai hulu agar benar-benar timur yang tepat, jangan melenceng ke timur laut atau tenggara. Jika memilih kaja sebagai hulu, selain melihat gunung atau bukit juga perhatikan kompas. Misalnya jika gunung berada di utara maka hulu agar benar-benar di arah utara sesuai kompas, jangan sampai melenceng ke arah timur laut atau barat laut, demikian seterusnya. Pemilihan arah hulu yang tepat sesuai dengan mata angin akan memudahkan membangun pelinggih-pelinggih dan memudahkan pelaksanaan upacara dan arah pemujaan.
BENTUK
HALAMAN
Bentuk halaman pura
adalah persegi empat sesuai dengan ukuran Asta Bumi sebagaimana diuraikan
terdahulu. Jangan membuat halaman pura tidak persegi empat misalnya ukuran
panjang atau lebar di sisi kanan - kiri berbeda, sehingga membentuk halaman
seperti trapesium, segi tiga, lingkaran, dll. Hal ini berkaitan dengan tatanan
pemujaan dan pelaksanaan upacara, misalnya pengaturan meletakkan umbul-umbul,
penjor, dan Asta kosala.
PEMBAGIAN
HALAMAN
Untuk Pura yang besar
menggunakan pembagian halaman menjadi tiga yaitu:
Utama MandalaMadya
MandalaNista Mandala.
Ketiga Mandala itu
merupakan satu kesatuan, artinya tidak terpisah-pisah, dan tetap berbentuk segi
empat; tidak boleh hanya utama mandala saja yang persegi empat, tetapi madya
mandala dan nista mandala berbentuk lain.
- Utama mandala adalah bagian yang paling sakral terletak paling hulu, menggunakan ukuran Asta Bumi;
- Madya Mandala adalah bagian tengah, menggunakan ukuran Asta Bumi yang sama dengan utama Mandala;
- Nista Mandala adalah bagian teben, boleh menggunakan ukuran yang tidak sama dengan utama dan nista mandala hanya saja lebar halaman tetap harus sama.
Di Utama mandala
dibangun pelinggih-pelinggih utama, di madya mandala dibangun sarana-sarana
penunjang misalnya bale gong, perantenan (dapur suci), bale kulkul, bale
pesandekan (tempat menata banten), bale pesamuan (untuk rapat-rapat), dll. Di
nista mandala ada pelinggih
"Lebuh" yaitu
stana Bhatara Baruna, dan halaman ini dapat digunakan untuk keperluan lain
misalnya parkir, penjual makanan, dll.
Batas antara nista
mandala dengan madya mandala adalah "Candi Bentar" dan batas antara
madya mandala dengan utama mandala adalah "Gelung Kori", sedangkan
nista mandala tidak diberi pagar atau batas dan langsung berhadapan dengan
jalan.
MENETAPKAN
PEMEDAL
Pemedal adalah gerbang,
baik berupa candi bentar maupun gelung kori. Cara menetapkan pemedal sebagai
berikut: 1) Ukur lebar halaman dengan tali. 2) Panjang tali itu dibagi tiga. 3)
Sepertiga ukuran tali dari arah teben adalah "as" pemedal. Dari as
ini ditetapkan lebarnya gerbang apakah setengah depa atau satu depa, tergantung
dari besar dan tingginya bangunan candi bentar dan gelung kori. Yang dimaksud
dengan teben dalam ukuran pemedal ini adalah arah yang bertentangan dengan hulu
dari garis halaman pemedal. Misalnya hulu halaman Pura ada di Timur, maka teben
dalam menetapkan gerbang tadi adalah utara, kecuali di utara ada gunung maka
tebennya selatan, demikian seterusnya. Penetapan gerbang candi bentar dan
gelung kori ini penting untuk menentukan letak pelinggih sesuai dengan asta
kosala.
JARAK
ANTAR PELINGGIH
Jarak antar pelinggih
yang satu dengan yang lain dapat menggunakan ukuran satu "depa",
kelipatan satu depa, "telung tapak nyirang", atau kelipatan telung
tapak nyirang. Pengertian "depa" sudah dikemukakan di depan, yaitu
jarak bentangan tangan lurus dari ujung jari tangan kiri ke ujung jari tangan
kanan. Yang dimaksud dengan "telung tampak nyirang" adalah jarak dari
susunan rapat tiga tapak kaki kanan dan kiri (dua kanan dan satu kiri) ditambah
satu tapak kaki kiri dalam posisi melintang. Baik depa maupun tapak yang
digunakan adalah dari orang yang dituakan dalam kelompok
"penyungsung" (pemuja) Pura. Jarak antar pelinggih dapat juga
menggunakan kombinasi dari depa dan tapak, tergantung dari harmonisasi letak
pelinggih dan luas halaman yang tersedia. Jarak antar pelinggih juga mencakup
jarak dari tembok batas ke pelinggih-pelinggih. Ketentuan-ketentuan jarak itu
juga tidak selalu konsisten, misalnya jarak antar pelinggih menggunakan tapak,
sedangkan jarak ke "Piasan" dan Pemedal (gerbang) menggunakan depa.
Ketentuan ini juga berlaku bagi bangunan dan pelinggih di Madya Mandala.
PELINGGIH
(STANA) YANG DIBANGUN
Jika bangunan inti
hanya Padmasana, sebagaimana tradisi yang ada di luar Pulau Bali, maka selain
Padmasana dibangun juga pelinggih TAKSU sebagai niyasa pemujaan Dewi Saraswati
yaitu saktinya Brahma yang memberikan manusia kemampuan belajar/mengajar
sehingga memiliki pengetahuan, dan PANGRURAH sebagai niyasa pemujaan Bhatara
Kala yaitu "putra" Siwa yang melindungi manusia dalam melaksanakan
kehidupannya di dunia. Bangunan lain yang bersifat sebagai penunjang adalah:
PIYASAN yaitu bangunan tempat bersemayamnya niyasa Hyang Widhi ketika hari
piodalan, di mana diletakkan juga sesajen (banten) yang dihaturkan. BALE
PAMEOSAN adalah tempat Sulinggih memuja. Di Madya Mandala dibangun BALE GONG,
tempat gambelan, BALE PESANDEKAN, tempat rapat atau menyiapkan diri dan
menyiapkan banten sebelum masuk ke Utama Mandala. BALE KULKUL yaitu tempat
kulkul (kentongan) yang dipukul sebagai isyarat kepada pemuja bahwa upacara
akan dimulai atau sudah selesai.
Jika ingin membangun
Sanggah pamerajan yang lengkap, bangunan niyasa yang ada dapat
"turut" 3,5,7,9, dan 11. "Turut" artinya
"berjumlah". Turut 3: Padmasari, Kemulan Rong tiga (pelinggih Hyang
Guru atau Tiga Sakti: Brahma, Wisnu, Siwa), dan Taksu. Jenis ini digunakan oleh
tiap keluarga di rumahnya masing-masing. Turut 5: Padmasari, Kemulan Rong Tiga,
Taksu, Pangrurah, "Baturan Pengayengan" yaitu pelinggih untuk memuja
ista dewata yang lain. Turut 7: adalah turut 5 ditambah dengan pelinggih Limas
cari (Gunung Agung) dan Limas Catu (Gunung Lebah). Yang dimaksud dengan Gunung
Agung dan Gunung Lebah (Batur) adalah symbolisme Hyang Widhi dalam manifestsi
yang menciptakan "Rua Bineda" atau dua hal yang selalu berbeda
misalnya: lelaki dan perempuan, siang dan malam, dharma dan adharma, dll. Turut
9 adalah turut 7 ditambah dengan pelinggih Sapta Petala dan Manjangan Saluwang.
Pelinggih Sapta Petala adalah pemujaan Hyang Widhi sebagai penguasa inti bumi
yang menyebabkan manusia dan mahluk lain dapat hidup. Manjangan Saluwang adalah
pemujaan Mpu Kuturan sebagai Maha Rsi yang paling berjasa mempertahankan Agama
Hindu di Bali. Turut 11 adalah turut 9 ditambah pelinggih Gedong Kawitan dan
Gedong Ibu. Gedong Kawitan adalah pemujaan leluhur laki-laki yang pertama kali
datang di Bali dan yang mengembangkan keturunan. Gedong Ibu adalah pemujaan
leluhur dari pihak wanita (istri Kawitan).
Cara menempatkan
pelinggih-pelinggih itu sesuai dengan konsep Hulu dan Teben, di mana yang
diletakkan di hulu adalah Padmasari/Padmasana, sedangkan yang diletakkan di
teben adalah pelinggih berikutnya sesuai dengan turut seperti diuraikan di
atas. Bila halamannya terbatas sedangkan pelinggihnya perlu banyak, maka letak
bangunan dapat berbentuk L yaitu berderet dari pojok hulu ke teben kiri dan
keteben kanan.
Sumber:
Bhagawan Dwija
Ida Pandita Nabe Sri
Bhagawan Dwija Warsa Nawa Sandhi, Geria Tamansari Lingga Ashrama, Jalan Pantai
Lingga, Banyuasri, Singaraja - Bali. Telpon: 0362-22113, 27010. HP 081-797-1986-4
Bangunan diproses
penjiwaannya sebagai suatu kelahiran ke bumi dengan upakara sebagaimana
layaknya suatu kelahiran dan kehidupan. Upacara ngulihin karang adalah suatu
upakara semacam dikawinkan antara bangunan dengan pemilik-pemakainya. Membangun Pura dengan
Kesadaran Mendasar
Oleh
N. Gelebet
Menyukuri kesejahteraan
karunia Hyang Widhi, dibangunlah pura sebagai tempat pemujaan dalam
manifestasinya, spirit geginan dan roh leluhur yang diharapkan menyatu
dengan-Nya untuk kerahayuan jagat. Pembangunan tempat pemujaan berkembang dari
seonggok batu untuk panjatan memuja yang di langit, meru bayangan gunung, padma
kemanunggalan dan kini penampilan jamak semarak dengan kemanjaan teknologi.
Kesadaran mendasar
dalam membangun pura memang seharusnya melestarikan landasan konseptualnya.
Peranan dinas, instansi yang mengambil alih peran krama, dengan pengalihan hak
atas bukti pura dan kebijakan meniadakan prosesi pratima yang ditinggal krama
yang tidak lagi ngayah kini tanpa karang ayahan, merupakan gejala kesadaran
palsu yang terjadi dalam beberapa kasus.
Proses
Membangun Pura
Berawal dari nyanggra
pengempon, pengemong dan penyiwi, dilanjutkan dengan nyanyan dialog ritual
dengan sesuhunan yang distanakan di pura yang dibangun. Tujuannya, untuk
mendapatkan kesepakatan atas kesepahaman sekala-niskala apa dan bagaimana
membangun pura. Kemudian dengan penetapan program dan penjadwalannya sesuai
subadewasa dilakukan nyikut, ngruak karang dan nyangga ngurip gegulak,
ngadegang sanggar wiswakarma. Keberadaan gegulak dipandang sebagai acuan hidup
modul pendimensian, setelah melalui ritus pengurip dan pengaci, nantinya wajib
di-pralina setelah bangunan selesai di-plaspas. Dengan penjiwaan sejak awal,
keseimbangan atma, angga lan khaya wewangunan dapat terwujud.
Selanjutnya ngelakar
sesuai keperluan dan ketentuan penggunaan bahan untuk bangunan pura yang
masing-masing peruntukannya (parahyangan, pawongan, palemahan) ada ketentuan
jenis kayunya. Di mana dan bagaimana mendapatkannya, melalui permakluman atau
permohonan di ulun tegal yang mewilayahi. Pantangan kayu tumbuh di sempadan
sungai, setra, di batas, rebah tersangkut, melintang jalan, tunggak wareng dan
lainnya wajib ditaati sebagai suau keyakinan.
Pekerjaan komponen
konstruksi dilakukan di jaba sisi pura atau di suatu tempat yang wajar. Pelaku
tukang wajib menaati tata cara kramaning tukang sesuai ketentuan dan arahan
undagi manggalaning wewangunan. Dalam proses pengerjaan, setiap tahap tertentu
melalui ritus upakara yang dipimpin undagi, tan keneng cuntaka, namun wajib
menaati brata ke-undagi-an. Dalam menjalankan profesinya, undagi atas nama
(ngelinggihang) Hyang Wiswakarma. Keberadaannya serentak menyandang kapican,
kawikon dan katakson, bagi undagi yang telah menjalani prosesnya sesuai ketentuan
tatwa, jnana dan upakara.
Bahan bangunan, tukang
dan pekerja mengutamakan dari wilayah sekitar. Peranan teknologi bukan hal yang
ditabukan. Menghindari pelaksanaan sistem tender yang sulit
dipertanggungjawabkan secara kualitas, legalitas ritual maupun proses
penjiwaannya. Dengan diabaikannya filsafat, konseptual dan tatwa acuan tata
cara membangun pura, sulit diharapkan unsur penjiwaannya sehingga megah
maraknya bangunan pura yang kini diwacanakan sebagai kehampaan tanpa taksu
karismatis.
Pemugaran Pura-pura
kuno yang menggusur katakson-nya batu-batu nunggul megalitikum, mengembangkan
belasan pelinggih sepertinya mengalami kemunduran monis yang dikembalikan ke
polis. Memang berpeluang untuk tampil megah meriah di kulit luar, namun hampa tanpa
magis power yang menjiwai.
Pembangunan pura tanpa
pedoman Asta Kosali, tanpa acuan gegulak modul dimensi, cenderung tampil
sebagai bangunan rekreasi berlanskap buatan berornamen mengada-ada.
Pekerjaan
Konstruksi
Setelah nyanggra,
nyanjan, nyikut dan nglakar, pekerjaan konstruksi dilanjutkan dengan ngaug,
ngakit dan ngasren yang diakhiri dengan ngurip/melaspas dan ngenteg linggih
dengan rangkaiannya sesuai tingkatan, runut dan runtutannya yang rumit. Peranan
undagi dari tahap 1 s.d. 8 dalam satu paket: atma, angga, khaya seutuhnya
sesuai ketentuan khusus Asta Kosali yang sulit dipahami profesi lain.
Kemudian ngenteg
linggih berdasarkan tegak wali manut tengeran, sasih atau wewaran (solar, lunar
atau galaxy system). Pelaksanaannya sesuai ketentuan dudonan upacara dengan
upakara dan pamuput-nya masing-masing. Peranan undagi dalam rangkaian yang
melibatkan seluruh lapisan masyarakat ini, sebatas pengamatan uji fungsi apakah
semua unit, bagian dan komponen sudah berfungsi sesuai dengan hakikat akidah
ruang ritual yang direncanakan.
Pekerjaan konstruksi
ngaug sunduk saat posisi matahari di mana bayangan garis atas lubang depan
berimpit dengan garis bawah lubang belakang adalah saat tepat yang ditetapkan.
Posisi ngaug betaka beti meru, pancung ngakit atap limasan nasarin dan mendem
pedagingan adalah ritus-ritus yang diyakini sebagai penjiwaan yang mampu
mengantisipai ancaman bencana gempa, petir dan badai angin ngelinus puting
beliung. Dengan kemampuan tahan bencana menjadikan karisma taksu suatu bangunan
semakin diyakini keunggulan kebenarannya yang memang terbukti dalam kajian
arsitektural tradisional.
Ngasren wewangunan
(pekerjaan finishing) tidak dibenarkan dengan menghilangkan sifat-sifat fisis,
chemis dan karakter estetika bahan alami yang membawa keindahan alami kodrati.
Pewarnaan justru merusak di saat usangnya yang semakin parah manakala perawatan
diabaikan.
Ngurip
Wewangunan
Prosesnya sejak awal,
ngruak karang alih fungsi dari karang tegal menjadi karang wawangunan atau
mandala pura. Ukuran pekarangan dengan pengurip asta musti, ukuran halaman
dengan pengurip tampak ngandang, ukurang bangunan dengan pengurip nyari, guli,
guli madu, useran jari, dan bagian-bagian dari modul dimensi tiang. Tata letak
dengan urip pengider, urip perwujudan, pengurip perwujudan, pengurip gegulak,
urip dina wawaran dan urip pengurip-urip pemakuh. Makna pengurip wewangunan
saat melaspas adalah menghidupkan dengan penjiwaan sebagai bangunan sesuai
namanya.
Bahan-bahan bangunan
telah dimatikan saat pengadaannya menjadi bahan bangunan. Saat upacara
melaspas, jiwanya dikembalikan ke asalnya masing-masing. Dilakukan upacara
peleburan dan dihidupkan (ngurip) dengan fungsi baru yang namanya bangunan.
Bangunan inilah yang kemudian diproses penjiwaannya sebagai suatu kelahiran ke
bumi dengan upakara sebagaimana layaknya suatu kelahiran dan kehidupan. Upacara
ngulihin karang adalah suatu upakara semacam dikawinkan antara bangunan dengan
pemilik-pemakainya.
Klasik, etnik dan unik
memang, namun itulah pengurip penjiwaan sepanjang proses membangun. Bagi
pandangan sekuler tentunya sebagai sesuatu yang berlebihan, mitos dan dogma
yang dipandang sebagai pemborosan sia-sia.
Benarkah dengan
diabaikannya ritus pengurip menyebabkan terjadinya pembangunan tanpa taksu yang
semarak dalam fisik namun hampa dalam kejiwaannya? Bagaimana mungkin penjiwaan
terjadi dalam pembangunan tanpa peran undagi, tanpa gegulak, yang dibangun
dengan sistem tender.
Raibnya bukti pura,
ditinggalkannya ayahan pratima dan menipisnya peranan krama, dapat memicu
terjadinya kesadaran palsu membangun pura sistem proyek yang ditenderkan.
EmoticonEmoticon