Ilustrasi |
Hindu Bersuara - Ada empat jaman atau
catur yuga yang dikenal dalam ajaran Hindu, yaitu; Satya Yuga, Treta Yuga, Dwapara
yuga dan Kali Yuga. Masing-masing dari keempat yuga tersebut memiliki ciri-ciri
tersendiri. Satya yuga dikatakan sebagai jaman keemasan, dimana prinsip-prinsip
Dharma dilaksanakan secara utuh. Sedangkan Kali yuga dikatakan sebagai jaman
kegelapan, prinsip-prinsip dharma tidak lagi dihiraukan dan adharma (perbuatan
yang bertentangan dengan dharma/hukum) semakin merajalela.
Di dalam Bhagavata
Purana dinyatakan bahwa “Kali-Yuga mulai mencengkram penduduk Bumi dengan
kekuatannya penuh ketika kumpulan bintang (planet) Sapta-Rishi bergerak dari
garis edar Bulan yang di-sebut Magha ke garis edar Bulan yang disebut
Purvasadha yaitu ketika Raja Nanda dan dinastinya mulai memerintah India
(Bhagavata Purana 12.2.32)” seperti dikutip dari narayanasmrti.com).
Di dalam kitab Siva
Purana dikatakan ada berbagai pelanggaran dharma yang terjadi pada jaman Kali
atau Kali Yuga, salah satunya pelanggaran dharma yang dilakukan oleh kaum
wanita pada umumnya. Vyasa berkata:
“Para wanita juga
sering melakukan kesalahan, dan perbuatan tidak benar; mereka ada yang menghina
suami mereka, menghina mertua, dan sering melakukan perbuatan yang hina” {Siva
Purana, Vidyeswara Samitha I.32}.
Hal-hal yang disebutkan
pada sloka tersebut di atas sudah menjadi pandangan umum dalam kehidupan
masyarakat. Seolah-olah sudah menjadi kebiasaan yang sulit dihilangkan.
Menghina suami, menghina mertua, perbuatan hina sudah menjadi bumbu yang tidak
sedap dalam keluarga.
Menghina suami
Dalam pandangan Hindu,
seorang suami adalah raja bagi seorang istri, demikian sebaliknya seorang istri
adalah ratu bagi seorang suami. Namun faktanya, rasa saling hormat menghormati
antara suami dan istri sulit ditemukan didalam sebuah keluarga pada era
sekarang. Tidak jarang sering menyaksikan percekcokan pasangan suami-istri.
Pada jaman post modern seperti sekarang ini,
sering kali dalam sebuah keluarga melihat seorang istri sering memarahi
suaminya. Jika ada masalah tidak mampu mengendalikan diri, marah menghina dan
berkata kasar kepada suami, kadang suka melempar apa saja ke lantai. Suka
mengatur pekerjaan suami, dalam urusan keputusan pekerjaan itu. Apabila terjadi
kegagalan dalam suatu pekerjaan langsung menyalahkan suami.
Tak jarang pula kita
menemukan seorang istri sangat berkuasa dalam rumah tangga, dia selalu
beranggapan bahwa dia yang paling benar, kesalahan hanya milik suami, kalau
marah suka membentak-bentak suami. Tidak adanya rasa hormat terhadap seorang
suami akan menghancurkan sebuah keluarga, demikian juga sebaliknya.
Sekarang ini mulai
tumbuh subur sikap-sikap wanita yang ingin menguasai suaminya, tentu hal ini
tidak baik. Sikap-sikap yang demikian bertentangan dengan dharma. Seorang istri
memiliki hak dan kewajiban tersendiri seperti yang sudah ditentukan.
Menghina mertua
Menurut kepercayaan Hindu
wanita itu lahir tiga kali, merupakan sebuah penghormatan kepada wanita,
sedangkan lelaki hanya lahir dua kali. Pertama, wanita lahir dari ibu kandung.
Kedua, wanita lahir karena upacara padiksaan atau inisiasi “berlaku bagi wanita
tertentu”. Ketiga, wanita lahir karena upacara perkawinan, dimana seorang
wanita menjadi anak dari keluarga sang suami.
Anak yang lahir dari
badan sang ibu dengan anak yang lahir karena upacara perkawinan, hal ini sama
terhormatnya, sehingga seorang menantu tidak ada berbedanya dengan anak
kandung. Dalam pandangan wanita modern, acap kali mertua dianggap remeh bahkan
adakalanya direndahkan.
Menghina mertua sama bahayanya dengan menghina
orang tua kandung. Sekali ayah atau ibu mertua mengucapkan kata-kata yang tidak
menyenangkan, misalnya “kutukan”. Kata-kata mertua itu akan menjadi bumerang
dalam kehidupan berumah tangga.
Pertentangan maupun
percekcokan antara menantu dengan mertua biasanya terjadi oleh karena keliru
akan pemahaman tentang mertua atau status mertua, mertua sering hanya dianggap
sebagai orang tua dari suami, tidak dinggap sebagai orang tuanya sendiri,
padahal secara agama status wanita tersebut sudah menjadi anak dari orang tua
suaminya.
Anggapan – anggapan
keliru seperti itulah yang menghilangkan rasa hormat mengormati antara menantu
dengan mertua. Hal ini tidak jarang menjadi sumber bencana dalam keluarga
bahkan sebagai sumber perceraian atau putusnya pasangan suami istri.
Perbuatan Hina
Perbutan – perbuatan
hina yang semakin merajalela bagi kaum wanita adalah seks bebas, menipu,
menggosip, memfitnah, mencela dan lain sebagainya. Yang semakin marak terjadi
adalah perzinaan dengan berselingkuh.
Bentuk perselingkuhan, mulai sekedar curhat, chatting, SMS, pertemuan langsung,
hingga yang paling fatal hubungan seks dengan pihak ketiga. Di zaman sekarang
perselingkuhan tampaknya kian berani, terang-terangan, dan dilakukan seakan
tanpa rasa dosa maupun penyesalan.
Yang namanya selingkuh,
telebih lagi berzina tentu ini sangat bertentangan dengan dharma. Di dalam Arthasastra
wanita tidak dibenarkan keluar sembarangan, untuk mencegah terjadinya
perselingkuhan. Seorang istri yang ingin keluar dari rumah harus ada izin dari
seorang suami, kecuali seorang istri ingin berkunjung ke rumah sanak keluarga.
Sumber :
Sifat-sifat buruk
lainya dari kaum wanita pada jaman kali adalah suka memberi rangsangan seksual
terhadap lelaki. Di dalam Siva Purana disebutkan:
“mereka sering
melakukan tindakan-tindakan yang memberi rangsangan seksual, larut dalam
kesenangan seksual, perbuatan mereka buruk, mencari kenikmatan bersama lelaki
lain, dan meninggalkan suami mereka sendiri ” {Siva Purana, Vidyeswara Samitha
I.33}. Tak bisa dipungkiri, perbuatan
memberi rangsangan seksual semakin marak terjadi. Di kalangan remaja wanita
semakin banyak wanita yang menyenangi penampilan-penampilan seksi. Kaum wanita
mencari pembenaran atas nama kebebasan berekspresi, padahal di dalam kitab
Sarasamuscaya dinyatakan bahwa wanita yang tidak tahu sopan santun dalam
berpakaian hendaknya tidak diajak bergaul. Berpakaian seksi dapat merusak
mental seseorang. Agama telah memberikan batasan dalam berpakaian. Di dalam
kitab Kama Sutra dinyatakan bahwa “ Hendaknya bagian yang sensitive dari tubuh
ini jangan diperlihatkan, karena itu akan merusak mental dari orang yang melihatnya”
{Kama Sutra.III.12}. Dinyatakan pula bahwa ”Tengkuk, buah dada, paha, dan betis
wanita adalah kekuatannya ; sinar auranya akan hilang apabila diperlihatkan
pada laki-laki di saat malam hari” {Kama Sutra. VIII.7}. Hal tersebut
dimaksudkan untuk memberikan batasan, sejauh mana berpakaian itu dilarang
maupun dibolehkan. Intinya bahwa agama melarang seseorang berpakaian seksi,
terutama kaum wanita. Sedangkan lelaki diwajibkan untuk mengendalikan diri dari
nafsu-nafsu duniawi, terutama nafsu seks (kama) agar tidak diblenggu oleh
pengaruh buruk Kali Yuga.
Sumber : Buku Agama Hindu, Kamar Sutra
EmoticonEmoticon