Berbicara kehidupan seringkali kita berhadapan
dengan kesenjangan social. Di Bali sebagian besar perempuan Bali sering
beranggapan bahwa kaum perempuan sering ditindas . Ada yang beranggapan hal ini
disebabkan sistem kekeluargaan yang dianut di Bali . Sesuatu sistem apabila
tidak dipahami secara benar maka akan
melahirkan anggapan yang keliru dan menyesatkan.
Perempuan Bali |
Hindu Bersuara - Berdasarkan asal kata
“perempuan” berarti orang yang dihormati, Kata dasarnya adalah empu
(per-empu-an), Empu adalah gelar kehormatan, seorang ahli, seorang yang mampu
memimpin. Untuk menyebut seorang
perempuan sering digunakan kata wanita . “Menurut Prof. Moh. Yamin, menyebut
istilah lain untuk wanita adalah “perempuan” yang berasal dari kata ‘empu’
atau’pu’ dan suffix ‘an’. Kata perempuan berarti mereka yang utama, dimuliakan
atau dihormati” (Wayan Sukarma).
Dari
asal kata perempuan adalah keliru jika mengatakan wanita sebagai manusia yang
hina atau mengatakan wanita Bali tidak dihargai. Lebih jau didalam kitab suci
dinyatakan “Dimana perempuan dihormati disana para dewa merasa senang, akan
tetapi dimana perempuan tidak dihormati disana tidak ada upacara suci yang
berpahala”. (MDs, III:56), “Dimana perempuan hidup sedih, keluarga itu akan
cepat mengalami kehancuran, sebaliknya, dimana perempuan tidak hidup menderita,
keluarga itu akan hidup bahagia” (MDs, III: 57). Ada seorang wanita Bali
menyatakan bahwa wanita Bali tidak dihargai karena tidak mendapatkan warisan,
seperti yang dinyatakan oleh Ni Nengah Hardiani.
“Dahulu saya kira semua
laki-laki Bali tidak menghargai perempuan seperti didikan mereka secara adat.
Secara adat perempuan Bali tidak dihargai, tidak diberikan warisan. Lama
kelamaan saya tahu, ternyata ada juga sedikit laki-laki Bali yang menghargai
perempuan”, ungkapnya seperti statusnya pada dinding Spiritual Indonesia
Perempuan. Sepertinya ia telah keliru memahami sistem hukum adat Bali , dimana
sistem yang dianut di Bali adalah patrilineal dan matrilineal (khususnya
perkawinan nyentana). Kedua sistem ini sejalan dengan ajaran hukum Hindu.
Apabila menganut sistem matrilineal
seperti di Minangkabau, maka lelaki sepeserpun tidak mendapatkan warisan,
bahkan ada kewajiban untuk merantau. Demikian pula halnya dengan perkawinan
nyentana di Bali, dimana lelaki tidak mendapatkan warisan dari keluarga
kandungnya karena ia akan menikmati warisan dari istrinya. Hal ini terjadi
karena lelaki diangkat statusnya menjadi wanita. Sistem ini berdasarkan ajaran
agama Hindu atau dengan kata lain sistem ini sejalan dengan ajaran Hindu
khususnya hukum hindu. Putu Mariasa menyatakan bahwa perkawinan bagi umat
Hindu-Bali dimaknai secara fisik dan non fisik (maksudnya Sekala - niskala).
Jika dalam upacara perkawinan itu diikuti dengan upacara "mepamit"
dari lingkaran leluhur keluarga semula, maka si mempelai perempuan akan ikut
lahir bathin di keluarga besar suaminya. Dia akan meninggal kemudian menitis /
lahir kembali/reinkarnasi di lingkungan keluarga suaminya. Jika mempelai
perempuan tidak mepamit kepada keluarga besarnya semula, secara non fisik
(niskala) ia masih menjadi bagian dari keluarga pertamanya dan numitis disana.
meskipun secara fisik (skala) ia sudah tidak ada di keluarganya. Dari
perkawinan ( hukum perkawinan ) akan timbul beberapa hukum lainnya seperti
hukum waris.
Hukum Waris merupakan bagian dari Hukum Kekayaan, akan tetapi erat
sekali dengan Hukum Keluarga, karena seluruh pewarisan menurut undang-undang
berdasarkan atas hubungan keluarga sedarah dan hubungan perkawinan. Dengan
demikian ia masuk bentuk campuran antara bidang yang dinamakan Hukum Kekayaan
dan Hukum Keluarga. Berbicara warisan memang seolah-olah ada ketimpangan
didalam hukum adat Bali, tetapi sejatinya tidak demikian. Berbicara warisan
adalah berbicara hak dan kewajiban. Perempuan Bali pada umumnya hanya sedikit
mendapatkan warisan sedangkan lelaki mendapat warisan lebih besar.
Perempuan
yang menikah keluar wajar sedikit mendapat warisan dari orang tua kandungnya
karena ia akan melakukan kewajiban di rumah suaminya dan mendapat warisan
bersama sang suami. sedangkan seorang lelaki akan melaksanakan kewajiban yang
besar terhadap leluhurnya misalnya upacara "ngaben", sehingga wajar
ia mendapatkan warisan lebih besar. Perlu digarisbawahi bahwa pada dasarnya
warisan bukan uttuk dibagi-bagi melainkan untuk dipelihara dan dijaga bersama,
terutama warisan yang berupa tanah dan pura keluarga. Seorang wanita yang
menikah juga mendapat "bekel" atau harta bawaan, bahkan mendapatkan
hibah.
Apabila seorang wanita dari keluarga anda menikah, apakah tidak
diberikan "bekel" ataupun hibah? jika tidak , bisa jadi keluarga anda
miskin (maaf, ini sebagai bahan argumen) karena biasanya seorang wanita yang
menikah pada umumnya akan mendapat "bekel" atau harta bawaan yang
diberikan orang tua kandungnya maupun hasil jerih payahnya sendiri sewaktu ia masih
berstatus anak pada keluarga kandung. Kalau keluarga bersangkutan miskin
mungkin saja tidak mendapatkan bekel atau harta bawaan dan hibah. hal itu bisa
dimaklumi karena kehidupan yang serba pas-pasan, apa yang hendak diberikan?
bisakah hutanng ditanggungg oleh anak wanita?, apabila hutang berupa materi
masih bisa tetapi hutang kepada leluhur
berupa yadnya dan sebagai penerus kawitan maka hal itu tidak bisa dibayar
kecuali melakukan perkawinan "nyentana" (sistem matrilineal ala Hindu
Bali). Dari sudut pandang Hukum Hindu, wanita mendapat seperempat bagian
warisan dari lelaki dan mendapat warisan peninggalan ibunya.
Seperempat bagian dari anak lelaki artinya
seperempat dari keseluruhan warisan bukan seperempat dari masing-masing saudara
lelakinya. Hal ini hampir serupa dengan pembagian warisan dalam hukum adat Jawa
tengahan yang menganut asas "sepikul segendongan" , artinya anak
laki-laki mendapatkan dua bagian dan anak perempuan mendapatkan satu, Berbeda sedikit dengan sistem yang ada pada
ajaran Hindu. Jika berbicara warisan tidak berpedoman pada hak dan kewajiban
maka akan terjadi kesesatan dalam berpikir. Seperti yang kita ketahui kewajiban
anak lelaki di Bali begitu berat. Konsep warisan dalam hukum Hindu (adat) Bali
memiliki beda makna dengan warisan dalam pengertian hukum barat, yang selalu
merupakan hak dan bersifat materiil atau memiliki nilai uang. Di Bali warisan
mengandung hak dan kewajiban yang tidak bisa ditolak bersifat materiil maupun
inmaterial. Laki-laki menerima warisan biasanya berupa:
1) Kewajiban
terhadap Desa Adat (Desa Dinas)
2) Kewajiban
menjaga kelangsungan ibadah pura, pemerajan yang bersifat dewa yadnya
3)
Kewajiban melakukan manusia yadnya dan pitra yadnya terhadap anggota keluarga,
orang tua maupun saudari perempuannya yang janda atau gadis.
4)
Kewajiban melanjutkan keturunan dengan memiliki anak kandung atau anak angkat
5)
Mewarisi harta kekayaan keluarga sebaliknya juga semua hutang piutang.
6) Memelihara hidup anggota keluarga termasuk
saudari-saudari yang menjadi tanggungjawabnya.
Dari 6 angka di atas ternyata 5 merupakan kewajiban
dan hanya satu hak mewaris harta kekayaan. Akan sangat beruntung anak laki-laki
bila orang tua kaya, tetapi lebih banyak yang apes/tidak beruntung bila hidup
mereka pas-pasan dan bahkan bila sangat miskin seperti itu, tanggungjawab tetap
harus dipikulnya. Biasanya orang-orang dari agama lain akan mencibir pembagian
harta warisan menurut Hukum Adat Bali dan Hukum Hindu atas ketidaktahuannya dan
mereka tidak mengetahui ribetnya menjadi orang Hindu, khususnya tanggungjawab
lelaki terhadap "nyama braya" (bermasyarakat) dan leluhur serta
pengabdian kepada Tuhan. Hanya pemikiran yang sempit yang mengatakan bahwa
wanita Bali tidak di hargai. memang pada kenyataan ada beberapa oknum lelaki
Bali yang kerjaannya hanya metajen (berjudi) dan mabu-mabukan sedangkan wanita
sibuk bekerja. ketimpangan sosial seperti itu yang dilakukan oleh beberapa
oknum lelaki Bali bisa terjadi dimana-mana.
Apa yang dilakukan oleh oknum lelaki Bali sudah
jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum Hindu yang merupakan jiwa dari
hukum adat Bali itu sendiri. Beberapa fakta yang terjadi bahwa beberapa wanita
Bali bekerja banting tulang dengan bekerja kasar , seperti menjadi buruh
pekerja dijalan (membantu mengaspal jalan, tukang suun) untuk mempertahankan
kehidupan keluarga sedangkan suaminya sibuk berjudi maupun mabuk-mabukan. Hal
ini merupakan pelanggaran atas Dharma (hukum Hindu). Hal seperti itu tidak bisa
dijadikan cap bahwa wanita Bali tidak dihargai. Agar tidak seperti pepatah nila
setitik rusak susu sebelanga. Apa yang dilakukan oleh beberapa oknum lelaki
Bali hal itu telah terjadi pelanggaran hukum keluarga terutama perihal
kewajiban suami. Didalam kitab suci telah tegas dinyatakan kewajiban seorang
suami sebagai berikut (seperti dikutip dari
situs paduarsana.com) :
“Wahai mempelai laki-laki, lakukanlah
yadnya(pengorbanan suci) yang akan mengantarkan keluargamu mencapai kebahagiaan
dan perkawinan yang penuh rahmat. Senantiasa berbaktilah kepada Hyang Widhi,
berikannlah kegembiraan kepada semua makhluk.”(Yajur Weda VIII,4)
Dalam Kitab Sarasamuccaya 242 disebutkan kewajiban
suami antara lain:
1. Sarirakrt artinya, mengupayakan kesehatan jasmani
anak-anaknya.
2. Prana
data, membangun jiwa anak-anaknya.
3. Anna data, artinya: memberikan makan.
Dalam Grhya Sutha, seorang suami mempunyai 2(dua)
kewajiban antara lain:
1. Memberikan perlindungan pada istri dan
anak(patti).
2. Bhastri, artinya seorang suami berkewajiban
menjamin kesejahteraan istri dan anak-anaknya.
Dalam Nitisastra VIII.3 ada 5(lima) kewajiban seorang
suami yang disebut panca vida, antara lain:
1. Matuluning urip rikalaning baya artinya:
menyelamatkan keluarga pada saat bahaya.
2. Nitya maweh bhinoajana artinya: selalu
mengusahakan makanan yang sehat.
3.
Mangupadyaya artinya: memberikan ilmu
pengetahuan kepada anak-anaknya. Sang ametwaken artinya: suami sebagai penyebab
kelahiran bagi anak-anaknya.
Didalam Weda Smrti IX.3 disebutkan:
PITARAKSATI KAUMARE, BHARTA RAKSATI YAUWANE,RAKSANTI
STHAVIRE PUTRA NA, STRI SWATANTRYAM ARHATI.
Artinya:
Selagi masih kecil seorang ayahlah yang melindungi, dan setelah dewasa
suaminyalah yang melindunginya dan setelah ia tua putranyalah yang melindungi,
wanita tidak pernah layak bebas(harus selalu dilindungi).
Kewajiban suami dalam Weda Smrti IX:2,3,9,11 dapat
diuraikan sebagai berikut: Wajib melindungi istri dan anak-anaknya serta
memperlakukan istri dengan wajar dan hormat.
1.
Wajib memelihara kesucian hubungannya dengan saling mempercayai sehingga
terjamin kerukunan dan keharmonisan rumah tangga.
2.
Suami hendaknya menyerahkan harta
kekayaan dan menugaskan istrinya untuk mengurus artha rumah tangga, urusan
dapur, yadnya serta ekonomi keluarga.
3.
Bila harus dinas keluar daerah suami suami berusaha menjamin istrinya untuk
memberikan nafkah.
4.
Suami wajib menggauli istrinya dan mengusahakan agar antara mereka sama-sama
menjamin kesucian keturunannya serta menjauhkan diri dari hal-hal yang
mengakibatkan perceraian.
5.
Suami hendaknya selalu merasa puas dan bahagia bersama istrinya karena akan
terpelihara kelangsungannya.
6.
Suami wajib menjalankan dharma grhastin, dharma keluarga(kula dharma),dhama
dalam bermasyarakat(vansa dharma).
7.
Suami berkewajiban melaksanakan sraddha,pitrapuja(pemujaan kepada
luluhur)memelihara cucunya serta melaksanakan panca yadnya.
Sumber : Tribunnews dan situs paduarsana
Sumber : Tribunnews dan situs paduarsana
EmoticonEmoticon