Pura Besakih |
Hindu Bersuara - Inilah
asal mulanya ada Besakih, sebelum ada
apa-apa hanya terdapat kayu-kayuan serta hutan belantara di tempat itu, demikian pula sebelum
ada Segara Rupek (Selat
Bali). Pulau Bali dan pulau Jawa dahulu masih menjadi satu dan
belum dipisahkan oleh
laut. Pulau itu panjang dan bernama Pulau Dawa. Di Jawa Timur yaitu di
Gunung Rawang
(sekarang dikenal dengan nama Gunung
Raung ) ada seorang Yogi atau pertapa
yang bernama Resi Markandeya. Beliau
berasal dan Hindustan (India), oleh para pengiring-pengiringnya disebut
Batara Giri
Rawang karena kesucian rohani, kecakapan
dan kebijaksanaannya (sakti sidhi ngucap).
Pada mulanya Sang Yogi Markandeya
bertapa di gunung Demulung, kemudian
pindah ke gunung Hyang (konon gunung
Hyang itu adalah DIYENG di Jawa Tengah
yang berasal dan kata DI HYANG). Sekian lamanya beliau bertapa di sana, mendapat titah
dari Hyang Widhi Wasa agar beliau dan para pengikutnya merabas hutan di pulau
Dawa setelah selesai, agar tanah itu dibagi-bagikan kepada para pengikutnya. Sang
Yogi Markandeya melaksanakan titah itu dan segera berangkat ke arah timur bersama para
pengiring-pengiringnya kurang lebih
sejumlah 8000 orang. Setelah tiba di tempat yang dituju Sang Yogi Markandeya menyuruh semua para
pengiringnya bekerja merabas
hutan belantara, dilaksanakan sebagai
mana mestinya. Saat merabas hutan, banyak para pengiring Sang Yogi
Markandeya yang sakit, lalu mati dan ada juga yang mati dimakan binatang buas,
karena tidak didahului dengan upacara yadnya (bebanten / sesaji) Kemudian
perabasan hutan dihentikan dan Sang Yogi Markandeya kembali lagi ke tempat
pertapaannya semula (Konon ke gunung Raung di Jawa Timur. Selama beberapa waktu Sang
Yogi Markandeya tinggal
di gunung Raung. Pada suatu hari yang
dipandang baik ( Dewasa Ayu ) beliau kembali ingin melanjutkan perabasan
hutan itu
untuk pembukaan daerah baru, disertai oleh para resi dan pertapa yang akan
diajak bersama-sama
memohon wara nugraha kehadapan
Hyang Widhi Wasa bagi keberhasilan
pekerjaan ini. Kali ini para pengiringnya
berjumlah 4000 orang yang berasal
dan Desa Age (penduduk di kaki gunung
Raung) dengan membawa alat-alat pertanian
selengkapnya termasuk bibit-bibit yang
akan ditanam di hutan yang akan dirabas
itu. Setelah tiba di tempat yang dituju,
Sang Yogi Markandeya segera melakukan
tapa yoga semadi bersama-sama para
yogi lainnya dan mempersembahkan upakara
yadnya, yaitu Dewa Yadnya dan Buta
Yadnya . Setelah upacara itu selesai, para pengikutnya disuruh bekerja melanjutkan perabasan
hutan tersebut, menebang
pohon-pohonan dan lain-lainnya mulai
dan selatan ke utara. Karena dipandang
sudah cukup banyak hutan yang dirabas,
maka berkat asung wara nugraha Hyang
Widhi Wasa, Sang Yogi Markandeya memerintahkan
agar perabasan hutan, itu dihentikan
dan beliau mulai mengadakan pembagian-pembagian
tanah untuk para pengikut-pengikutnya
masing-masing dijadikan
sawah, tegal dan perumahan. Di tempat di mana dimulai perabasan hutan itu Sang Yogi
Markandeya menanam kendi (payuk ) berisi air, juga Pancadatu yaitu berupa logam
emas, perak, tembaga, besi dan perunggu disertai permata Mirah Adi (permata
utama) dan upakara (bebanten / sesajen) selengkapnya diperciki tirta Pangentas
(air suci). Tempat di mana sarana-sarana itu
ditanam diberi nama BASUKI.
Sejak saat itu para pengikut Sang Yogi
Markandeya yang datang pada waktu-waktu berikutnya serta merabas hutan untuk pembukaan wilayah
baru, tidak lagi ditimpa
bencana sebagai mana yang pernah dialami
dahulu. Demikianlah sedikit kutipan dari l ontar Markandeya Purana tentang
asal mula
adanya desa dan pura Besakih yang seperti
disebutkan terdahulu bernama Basuki
dan dalam perkembangannya kemudian
sampai hari ini bernama Besakih. Mungkin
berdasarkan pengalaman tersebut, dan juga berdasarkan apa yang tercantum dalam
ajaran-ajaran agama Hindu tentang Panca Yadnya , sampai saat ini setiap kali umat
Hindu akan membangun sesuatu bangunan baik rumah, warung, kantor- kantor sampai
kepada pembangunan Pura, demikian pula memulai bekerja di sawah ataupun di
perusahaan-perusahaan, terlebih dahulu mereka mengadakan upakara yadnya seperti
Nasarin atau Mendem Dasar Bangunan. Setelah itu barulah pekerjaan dimulai,
dengan pengharapan agar mendapatkan keberhasilan secara spiritual keagamaan
Hindu di samping usaha-usaha yang dikerjakan dengan tenaga-tenaga fisik serta
kecakapan atau keahlian yang mereka miliki. Selanjutnya memperhatikan isi
lontar Markandeya Purana itu tadi dan dihubungkan pula dengan
kenyataan-kenyataan yang dapat kita saksikan sehari-hari sampai saat ini
tentang tata kehidupan masyarakat khususnya dalam hal pengaturan desa adat dan
subak di persawahan. Oleh karena itu dapat kita simpulkan bahwa Besakih adalah tempat
pertama para leluhur kita yang pindah dari gunung Raung di Jawa Timur mula-mula
membangun suatu desa dan lapangan pekerjaan khususnya dalam bidang pertanian
dan peternakan. Demikian pula mengembangkan
ajaran-ajaran agama Hindu.
1.
Pura Pesimpangan
Dari
Pura Dalem Puri ke timur dan membelok
lagi ke selatan yaitu di sebelah timur
jalan raya, di tempat yang agak terpencil,
terletak Pura Pesimpangan. Piodalannya
pada hari Anggara Keliwon Julungwangi,
pura ini merupakan tempat pesimpangan
(singgah) sejenak bila kembali melelasti
dari Segara Kelotok Klungkung.
2.
Pura Dalem Puri
Pura
ini terletak paling selatan dari Pura Penataran Agung, yaitu di sebelah barat sungai. Untuk
mencapainya kita harus berjalan
kaki kira-kira 300 meter ke utara dan
kemudian membelok ke barat di suatu tempat yang agak terpencil. Di pura ini distanakan Bhatari
Durga yang dahulu dinamai
Pura Dalem Kedewatan . Para umat Hindu
yang telah selesai mengadakan Upakara
Pitra Yadnya yaitu ngaben dan Memukur
atau Ngeroras biasanya ke pura ini,
Mendak Nuntun Sang Pitara untuk distanakan
di Sanggah atau Pemerajan masing-masing.
Di sekitar Pura Dalem Puri terdapat
suatu tanah lapang yang agak luas yang
dinamai Tegal Penangsaran dilengkapi sebuah Pelinggih Tugu kecil di sebelah
timur pura.
Piodalan di pura ini pada hari Buda Keliwon Ugu, sedang setiap tahun pada sasih Kepitu penanggal
1, 3 atau 5 diselenggarakan
upakara Yadnya Ngusaba Kepitu
. Di dalam pura inilah menurut suatu cerita, Sri Jayakasunu menerima pewarah- warah atau sabda dari
bhatari Durga tentang
Upacara Eka Dasa Rudra, Tawur Kesanga,
Galungan , Kuningan dan lain - lainnya,
yaitu setelah Sri Mayadenawa dihancurkan
karena tindakannya menghalang-halangi
masyarakat melakukan ibadah
agamanya ke Pura Besakih.
3.
Pura Manik Mas
Pura
ini merupakan Kahyangan Dewi Pertiwi atau disebut juga Sang Hyang Giriputri (Saktinya Siwa ).
Piodalannya pada hari Saniscara
Keliwon Wariga (Tumpek Uduh) . Di tempat
ini seharusnya umat sembahyang dengan
mempersembahkan aturan sepatutnya
sebelum ia akan ke Pura Penataran
Agung Besakih. Maksudnya agar baik
jasmani dan rohani disucikan secara niskala sebelum akan menyelenggarakan sesuatu upakara Yadnya
baik di Pura Penataran
Agung maupun di pura pura sekitarnya.
Diceriterakan oleh orang-orang tua,
bahwa di masa-masa yang lalu yaitu waktu zaman Dalem atau Raja beliau biasanya ke Besakih
dengan menunggang kuda,
diiringi oleh masyarakat. Di sebelah selatan Pura Manik Mas beliau turun, kemudian bersama-sama
muspa (sembahyang)
di Pura Manik Mas. Selanjutnya
barulah beliau menuju ke Pura Penataran
Agung Besakih dengan berjalan kaki.
Hal ini dilakukan karena wilayah antara Pura Manik Mas sampai
ke puncak disebut Telajakan
Pura Besakih yaitu Soring Ambal- ambal
dan Luhuring Ambal-ambal. Oleh karenanya
pula baik sekali bila mulai sekarang
dirintis jalan agar setiap orang yang
akan sembahyang ke Pura Penataran Agung
Besakih, terlebih dahulu turun dan sembahyang di Pura Manik Mas, dan kemudian barulah
setelah itu berjalan kaki ke
Pura Penataran Agung sehingga keagungan
dan kemuliaan Pura Besakih ini akan
semakin dapat dirasakan serta diresapi.
4.
Pura Bangun Sakti
Letaknya
disebelah timur jalan raya, di mana distanakan Triantabhoga yaitu Hyang Naga Basukih, Hyang Naga
Sesa dan Hyang NagaTaksaka
. Piodalannya pada hari Buda Pon
Watugunung . Di samping itu setiap waktu tertentu diselenggarakan aci Pengangon dan Ngusaba
Posya pada hari Tilem
sasih keenem . Di pura inilah konon Danghyang Manik Angkeran di hidupkan kembali setelah
beberapa lamanya wafat akibat
kesalahannya kepada Hyang Naga Basukih.
5.
Pura Ulun Kulkul
Di
sebelah barat jalan terletak Pura Ulun Kulkul di mana Hyang Mahadewa distanakan. Sebuah
kulkul (kentongan besar) terdapat
di pura ini dan dipandang sebagai kulkul
yang paling utama dan
mulia dari pada
semua kulkul yang ada di Bali. Di zaman
dahulu setiap desa atau banjar membuat
kulkul , kulkul itu harus dipelaspas dan dimohonkan tirta di Pura Ulun
Kulkul, agar
atas asung wara nugraha Hyang Widhi Wasa, kulkul itu mempunyai taksu , yaitu ditaati oleh krama desa
atau karma pemaksan
pura yang akan memakai kulkul tersebut.
Adapun piodalan di pura ini jatuh pada
hari Saniscara Keliwon Kuningan atau tepat pada hari Raya Kuningan , sedang
pada setiap
hari tilem ketiga diadakan upakara aci Pengurip Bumi dan pada setiap hari tilem kaulu menghaturkan aci
sarin tahun. Aci Pengurip
Bumi dimaksudkan untuk memohon
agar semua tanam-tanaman baik di
sawah maupun di ladang menjadi subur dan sebagian kecil dari hasil pertanian
itu kemudian
dipersembahkan yang dinamakan aci
sarin tahun . Jika ada Upakara-upakara Yadnya di Pura ini dan di Pura Penataran Agung, maka semua
bangunan Pelinggih yang
terdapat di dalamnya harus dihias dengan
pengangge-pengangge sarwa jenar atau
hiasan serba kuning.
6.
Pura Merajan Selonding
Di
sebelah utara Pure Ulun Kulkul dan agak masuk ke barat dan
jalan raya terdapat Pure Merajan
Selonding. Dahulu kala pura ini adalah
Merajan dari Dalem Kesari Warmadewa
yang diperkirakan pernah mempunyai
istana di Besakih dengan nama Bumi
Kuripan . Raja Purana Besakih dalam bentuk lontar yang sering disebut
Prasasti Bredah
disimpan di pura ini, demikian pula seperangkat gamelan kuno yang bernama Selonding. Dalam Lontar
Catur Muni-Muni yaitu
yang menceriterakan tentang asal mulanya
ada tabuh gamelan di Bali, dikatakan
bahwa Bhagawan Narada mengajarkan
para pertapa menabuh gamelan
dengan gamelan Selonding. Sementara
itu dalam Markandeya Purana ditegaskan
bahwa Sang Yogi Markandeya\ juga
memakai nama Hyang Naradatapa. Apakah
yang dimaksud dengan Bhagawan Narada
ini Sang Yogi Markandeya dan gamelan
yang dipakainya itu gamelan selonding
yang tersimpan di pura ini, masih perlu
diadakan penelitian lebih lanjut oleh para ahli. Piodalan di pura merajan Selonding pada hari
Wraspati Keliwon Warigadian.
7.
Pura Goa
Ke
utara dari Pura Manik Mas di sebelah timur jalan raya terletak Pura Gua di
mana Hyang
Naga Basuki diistanakan. Di sebelah timur Pura ini terdapat sebuah sungai
dan pada
tebingnya ada sebuah gua besar, tetapi
sekarang gua tersebut sudah tertimbun
runtuhan tanah longsor. Dalam ceritera
tentang perjalanan Dang Hyang Sidimantra
ke Besakih, diceriterakan bahwa di
gua inilah beliau setiap hari-hari tertentu mempersembahkan haturan
kepada Hyang Naga
Basuki berupa empahan (susu), madu dan telur. Juga di tempat ini Dang Hyang Manik Angkeran memotong
ekor Naga Basuki
, sehingga Dang Hyang Manik Angkeran
dipanggang sampai meninggal, tetapi
kemudian dihidupkan lagi setelah Dang
Hyang Sidimantra (Ayah dan Dang Hyang
Manik Angkeran) dapat memasang kembali
ekor Naga Basuki yang terpotong itu.
Menurut ceritera rakyat, dahulu kala gua itu tembus sampai ke
Gua Lawah Klungkung
, sehingga pernah terjadi pada waktu
ada sabungan ayam di Gua Lawah , salah
seekor ayam sabungan itu lari masuk ke Gua Lawah kemudian dikejar terus oleh pemiliknya dan akhirnya
ia keluar di gua Besakih
. Pada permukaan gua sekarang ini sudah
diperbaiki sehingga memungkinkan orang
duduk untuk sembahyang atau semadi.
Piodalan di pura Gua pada hari Buda
Wage Kelawu atau Buda Cemeng Kelawu.
8.
Pura Banua Kawan
Pura
Banua Kawan terletak di sebelah timur jalan raya yaitu di timur parkir kendaraan menghadap ke selatan.
Di sini diistanakan Batari
Sri dan hari piodalan nya jatuh pada hari Sukra Umanis Kelawu . dahulunya di sebelah timur pura ini
agak ke selatan terdapat
sebuah lumbung padi untuk tempat menyimpan
sebagian dari padi hasil sawahdruwe Pura Besakih . Sekarang lumbung ini sudah tidak ada dan
akan diusahakan untukdibangun kembali. Dengan adanya lumbung ini diharapkan sebagai
sarana permohonan untuk
penginih-inih, artinya segala yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pangan dapatlah
dipenuhi, meskipun sederhana
tetapi cukup.
9.
Pura Merajan Kanginan
Letaknya
di sebelah timur Banua Kawan, yaitu
di ujung timur di tepi sebuah sungaimenghadap ke selatan. Di sini distanakan Bhatara rambut Sedana
dan terdapat pelinggih
untuk memulyakan Empu Bradah dan
Bhatara Indra. Adapun piodalan nya jatuh pada hari Saniscara Keliwon
Kerulut atau
tumpek Kerulut . Menurut ceritera-ceritera yang pernah didengar oleh para orang-orang tua di
Besakih, konon Pura ini bekas
merajan dan Danghyang Manik Angkeran
sewaktu beliau menjadi pertapa diBesakih.
10.
Pura Hyang Haluh (Pura Jenggala)
Dari
Pura Banua Kawan ke barat melalui jalan
setapak agak jauh ke dalam dan kemudian
membelok ke utara akan kita dapati
Pura Jenggala di atas sebuah bukit kecil. Menurut masyarakat setempat pura
ini sering
juga disebut Pura Hyang Haluh dan difungsikan
sebagai Kahyangan Prajapati . Hal ini
bisa dimengerti karena agak ke selatan dari Pura Jenggala terdapat tanah kuburan yang disebut Setra
Agung. Di pura ini terdapat
beberapa patung batu yang agak kuno
menyerupai seorang resi, garuda dan lain lainnya, yang sakral dan dibuatkan pelinggih-pelinggih .
Banyak sekali ceritera rakyat
yang dihubungkan dengan pura ini, ada
yang mengatakan bekas pertapaan Dyah
Kulputih , ada yang mengatakan Kahyangan
Melanting dan ada pula yang memperkirakan
semacam Pura Alas Angker.
11.
Pura Basukihan
Di
kaki Pura Penataran Agung Besakih yaitu di sebelah kanan kalau
kita akan menaiki tangga
Pura Penataran Agung, terdapat sebuah
pura yang pelinggih induknya berupa meru tumpang pitu (tingkat tujuh). Pura
ini bernama
Pura Basukihan di tempat mana menurut
perkiraan para sulinggih, Danghyang
Markandeya menanam Pedagingan
Pancadatu (lima jenis logam dengan
kelengkapan upakaranya). Pura Basukihan,
Pura Penataran Agung dan Pura Dalem
Puri adalah induk dari Kahyangan Tiga di desa-desa yaitu pura Puseh , pura
Desadan pura Dalem. Dari kelengkapan palinggih- palinggih yang terdapat
di masing-masing pura
itu, demikian pula sastra-sastra agama yang ada hubungannya dengan tata cara membangun suatu pura,
nampak bahwa pura Basukihan
itu adalah pura Puseh Jagat, Pura Penataran
Agung berfungsi sebagai pura Desa
Jagat dan Pura Dalem Puri sebagai pura
Dalem Jagat . Dengan demikian Pura Basukihan, Pura Penataran Agung dan Pura Dalem Puri adalah pusat
dan semua pura Puseh,
pura Desa dan pura Dalem yang terletak
di manapun, sehingga pura Besakih secara
keseluruhan adalah pura Penyungsung
Jagat . Adapun yang distanakan di
pura ini ialah Hyang Naga Basuki . Hari Piodalannya jatuh pada
hari Buda Wage Kelawu
atau Budha Cemeng Kelawu .
12.
Pura Penataran Agung Di
sebelah utara Pura Basukihan dinamai Pura Penataran Agung. Di antara semua pura-pura yang termasuk
dalam kompleks Pura
Besakih. maka Pura Penataran Agung ini adalah yang terbesar, terbanyak bangunan-bangunan
pelinggihnya, terbanyak jenis
upakaranya dan merupakan pusat dan semua pura yang ada di Besakih. Dalam
Raja Purana
Besakih dikatakan bahwa Pura Penataran
Agung Besakih adalah tempat Pesamuaning
Batara Kabeh. Denah
pura Penataran Agung Besakih diuraikan
habis,
13.
Pura Batu Madeg
Untuk
mencapai Pura Batu Madeg ini kita berjalan
kaki keutara disebelah Barat Suci dan
kemudian membelok sedikit ke Barat. Pura ini cukup luas di mana di dalamnya banyak terdapat
palinggih-palinggih dan meru. Palinggih pokok adalah
stana Hyang Widhi
Wasa dalam manifestasinya sebagai Hyang
Wisnu berupa meru tumpang 11. Upakara Yadnya atau Pangaci di pura Batu Madeg terdiri
dari piodalan pada hari Soma Umanis Tolu, Ngusabha Warigadian pada hari
penanggal 5 sasih kelima dan Benaung Bayu pada hari tilem sasih kelima .
Palinggih palinggih di Pura Batu Madeg
antara
lain:
1.
Bebaturan tempat memuja Bhatara Gajah
Waktera . Di masa-masa yang lalu yaitu
pada waktu perjuangan merebut kemerdekaan,
konon para pejuang banyak
yang bersemadhi di palinggih ini.
2.
Bebaturan linggih Bhatara Batudinding .
3.
Gedong Palinggih Bhatara Pujungsari.
4.
Meru tumpang 11 Palinggih Bhatara Manik
Bungkah.
5.
Meru tumpang 11 Palinggih Bhatara Bagus
Babotoh.
6.
Meru tumpang II Palinggih Bhatara Sakti Batu Madeg (Hyang
Wisnu).
7.
Bebaturan Palinggih I Ratu Kelabangapit,
tempat masyarakat memohon
keselamatan bila akan membuat
empelan (bendungan besar) dan
memohon agar sawah-sawahnya tidak
mengalami kekurangan air.
8.
Meru tumpang 9 Palinggih Bhatara Manik
Buncing.
9.
Meru tumpang 9 Palinggih Bhatara Manik
Angkeran yang dimuliakan oleh para
prati sentana nya dan sekarang dikenal
dengan sebutan Pinatih, sulang dan
Wayabya , di samping oleh Masyarakat
umat Hindu umumnya.
10.
Bale Tegeh Palinggih Lingga.
11.
Bale Pesamuhan Agung tempat pemujaan umum ke hadapan Sang Hyang Widhi Wasa dalam
manifestasinya sebagi Hyang
Wisnu.
12.
Bebaturan Pelinggih Bhatara Sanghyang Batur.
13.
Gedong Palinggih Sanghyang Kumpi Batur.
14.
Enam buah Bale Pelik diantaranya terdapat
tempat pemujaan pada Dukuh Suladri
di Bale Pelik bagian Timur.
15.
Bangunan-Bangunan Bale Pegat, Bale Gong, Bale Pewedaan , dan Candi bentar. Bila terdapat
karya-karya agung di pura Besakih demikian pula pengaci di pura Batu madeg,
maka semua palinggih-palinggih yang terdapat di Pura ini dihias dengan pengangge-pengangge
Palinggih seperti ider-ider, Lelontek, Pedapa dan lain-lainnya dengan warna
serba hitam.
14. Pura Batu Kiduling Kreteg Dari Pura Penataran Agung ke timur melewati
jalan setapak di sebelah menyebelah pura-pura Pedharman dan pada ujung timur
terdapat Pura Kiduling Kreteg, yaitu di sebelah Timur sungai melalui sebuah
jembatan. Luas Pura ini demikian pula jumlah palinggih-palinggihnya hamper sama
dengan Pura Batu Madeg, di mana pelinggih pokoknya Meru tumpang 11 kahyangan
Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Hyang Brahma. Di dalam
lontar-lontar Pura ini kadang-kadang dinamai Pura Dangin Kreteg dan kadang Pura
Kiduling Kreteg , mungkin karena tempatnya seolah-olah berada di sebelah timur
jembatan dan seolah-olah di sebelah selatan jembatan kalau kita sedang berada di
Pura Penataran Agung . Ini bias dimengerti karena Pura Besakih sesungguhnya
tidak sepenuhnya menghadap ke Selatan tetapi agak miring kearah Barat berhadapan
dengan Pura Luhur Uluwatu di desa Pecatu Kabupaten Badung. Ini pulalah sebabnya
Pura Luwur Uluwatu dan Pura Besakih Hyang Hyangning Segara Ukir atau Hyang
Hyangning Segara Gunung dalam arti Pura Luhur Uluwatu berfungsi Predana dan Pura
Besakih Purusa.
Adapun bangunan-bangunan pelinggih
yang terdapat
di Pura Kiduling Kreteg antara lain:
1.
Meru tumpang 11 Pelinggih Hyang Brahma,
yang oleh umum disebut Bhatara
Agung Sakti .
2.
Meru Tumpang 7 Pelinggih Bhatara Bayu
, yang oleh umum disebut I Ratu Bagus
Bayusan.
3.
Meru tumpang 5 Palinggih Ida Ratu Bagus
Swa.
4.
Meru tumpang I I Palinggih Ida Ratu Bagus Cili.
5.
Meru tumpang 5 Palinggih Ida Ratu Bagus
Soha.
6.
Meru tumpang 3 Palinggih Ida Ratu Sihi.
7.
Meru tumpang 3 Palinggih Dewa-Dewi.
8.
Bale Pesamuan Agung.
9.
Bale Agung.
10.
Bale Pegat.
11.
BalePawedaan.
12.
Bebaturan.
13.
Bale Tegeh.
14.
Bebaturan.
15.
Panggungan.
16.
Bale Gambang.
17.
Bale Gong.
18.
Candi Bentar.
19.
Bale Pesambiyangan.
Piodalannya
jatuh pada Anggara Wage Dungulan
atau Penampahan Galungan , sedang
Aci Panyebab Brahma diselenggarakan
setahun sekali pada hari purnama
sasih Kaenem. Aci Panyebab Brahma
adalah untuk memohon agar padi di sawah
tidak merana dan hangus kekeringan. Dalam karya-karya di pura Kiduling
Kreteg, semua
penganggen pelinggih berwarna merah.
15.
Pura Gelap
Dari
jalan setapak di sebelah timur Pura Penataran Agung ke utara (jalannya agak menanjak kira-kira 5
menit perjalanan), terdapat
Pura Gelap di ketinggian. Pelinggih pokok berupa Meru tumpang 3 di sana distanakan Hyang Iswara
, di samping sebuah
Padma, Palinggih Ciwa Lingga, Bebaturan
Sapta Petala, Bale Pewedaan dan Bale
Gong . Piodalan di Pura Gelap jatuh pada hari Soma Keliwon Wariga dan Aci Pengenteg Jagat pada
setiap hari Purnama sasih
Karo. Di
sinilah pura tempat umat maturan dan memohon kedamain pikiran dan kesejahteraan hidup
sesuai dengan makna pengacinya
yang disebut Aci Pengenteg Jagat.
Pada waktu karya-karya di Pura Besakih
semua pengangge-pengangge di Pura
ini berwama serba putih.
16.
Pura Pengubengan
Pura
Pengubengan ini letaknya ke utara dari Pura Penataran Agung melalui jalan
setapak kira-kira
30 menit perjalanan. Di sini terdapat
pelinggih pokok meru tumpang 11 di
samping bale gong, bale Pelik, Piyasan, Candi Bentar dan tembok
penyengker. Di sinilah
pelinggih Pesamuhan Bhatara Kabeh sebelum
Bhatara Turun Kabeh di Penataran Agung.
Di antara pura-pura lainnya yang ada di Besakih, letak Pura Pengubengan ini
yang tertinggi.
Jika masyarakat bermaksud mempersembahkan
aturannya kepuncak Gunung
Agung akan tetapi tidak mampu karena
tingginya, maka cukup aturan itu dipersembahkan
di Pura Pengubengan ini. Sama
halnya dengan dan Pura Peninjoan, dari
sinipun pemandangan alam kelihatan indah sekali, akan tetapi Pura Penataran Agung tidak nampak.
Sesungguhnya baik sekali
apabila pada hari-hari tertentu (Rerainan)
kita dapat pedek tangkil serta mempersembahkan
aturan di Pura Peninjoan dan
Pura Pengubengan secara berombongan,
karena di samping hal-hal berkunjung
ke Pura Pura itu termasuk Yadya yang
disebut Tirtha Yatra, juga kita mengetahui
secara langsung pura-pura itu. Piodalan
di Pura Pengubengan jatuh pada hari
Budha Wage Kelawu.
17.
Pura Batu Tirtha Tempatnya
tidak begitu jauh dan Pura Pengubengan
yaitu disebelah timurnya kira- kira
10 menit perjalanan. Di sini terdapat sumber tirtha atau air suci yang dipergunakan bila ada
karya-karya agung di Pura
Besakih ataupun karya-karya agung di desa-desa pekraman, demikian pula di sanggar-sanggar
pemujaan umat seperti di sanggah
maupun merajan. Piodalan di pura Tirtha
jatuh pada hari Budha Wage Kelawu.
18.
Pura Batu Peninjoan
Letak
Pura ini agak kebarat-laut dari Pura Batu Madeg , melalui jalan setapak,
menuruni lembah
dan menyelusuri pinggir sungai kering
tegalan penduduk. Perjalanan kurang lebih atarara 15 sampai 25 menit dan
kita akan
sampai di Pura Peninjoan disebuah bukit
kecil. Di sana terdapat sebuah Meru tumpang 9. Dari tempat inilah konon Empu Kuturan meninjau
wilayah Desa Besakih yang
sekarang menjadi tempat pelinggih- pelinggih di Pura Penataran Agung dan sekitarnya, sewaktu
beliau merencanakan pembanguan
dan memperluas Pura Besakih ini
yang di masa yang lalu tidak sebanyak yang kita saksikan sekarang. Di tempat inilah Empu Kuturan
menjalankan tapa yoga samadhi
bila beliau ke Besakih. Ajaran- ajarannya
tentang tata cara membangun pura,
membuat pelinggih meru, kahyangan tiga,
Asta Kosala Kosali dan lain-lainnya sampai sekarang masih dipraktekkan oleh segenap lapisan
masyarakat Hindu. Setelah beliau
wafat beliau tidak lagi disebut Empu Kuturan, tetapi Bhatara Empu Kuturan, karena beliau dipandang
sebagai Awatara atau
Dewa Kemanungsan tidak ternilai besar jasanya dalam menuntun masyarakat Umat Hindu dan untuknya
distanakan di Meru tumpang
9 di Pura Peninjoan ini, selain di tempat-tempat lain seperti di Silayukti\ (Padangbai -
Karangasem). Dari Pura Peninjoan,
semua pelinggih di Pura Penataran
Agung dapat dilihat dengan jelas, demikian
pula pantai dan daratan pulau Bali di sebelah selatan kelihatan indah
sekali. Selain
dari meru tumpang 9 , pura ini juga dilengkapi dengan dua buah Bale Pelik
dan Piyasan.
Piodalan di Pura Peninjoan pada hari
Wraspati Wage Tolu.
EmoticonEmoticon