Berita Hindu - Menjaga bayi adalah
pekerjaan yang gampang-gampang sulit. Oleh karena itu, diperlukan kesabaran dan
ketelatenan. Meski demikian, terkadang sebagai pengasuh, terutama orang tua,
bisa saja mengalami hal yang membingungkan. Misalnya bayi tiba-tiba menangis
tak wajar pada jam-jam tertentu, khususnya tengah malam. Ketika dicek secara
medis, ternyata si bayi sehat walafiat. Namun, tetap saja setiap malam si bayi
menangis tidak karuan, seperti ketakutan. Bagaimana cara menangkalnya?
Sebagai masyarakat
nusantara, khususnya Bali, fenomena semacam itu tak jarang dialami keluarga
yang baru dikaruniai seorang anak. Oleh karena itu, bayi orang Bali
diperlakukan dengan sangat ketat, terutama dari segi ritual. Perlakuan bayi,
ari-ari, dan sang ibu yang baru melahirkan, sangat spesial.
foto caru (facebook) |
Salah satu akademisi
Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar, Dr. I Made Adi Surya Pradnya atau
yang populer dengan nama Jro Dalang Nabe Roby, tak menampik ada kepercayaan
masyarakat Bali terhadap fenomena gaib yang terjadi pada bayi. Masyarakat Bali
yang lekat dengan budaya religius magis, kata dia, percaya jika bayi rawan
diganggu oleh makhluk halus atau orang yang mengamalkan ilmu hitam.
“Dalam Kanda Pat Rare,
bayi disebut orang yang masih suci. Jadi, orang yang masih suci menjadi
‘makanan empuk’ dari orang-orang yang mengamalkan ilmu gaib secara negatif,”
ujarnya kepada Bali Express (Jawa Pos Group), Selasa (30/5/2017) yang lalu.
Konon, makhluk halus
atau orang yang mengamalkan ilmu hitam, lanjutnya, mencium aroma bayi yang baru
lahir seperti masakan yang lezat. “Jadi, baunya sangat enak, seperti masakan,”
ungkapnya.
Berkenaan dengan hal
itu, bayi menurutnya harus mendapat perlakuan ekstra, tak hanya secara medis,
juga secara ritual. Tak hanya si bayi, namun berdasarkan ajaran Kanda Pat,
seorang lahir ke dunia bersama Catur Sanak atau empat orang saudara. Yang
paling tua berwujud fisik yeh nyom (air ketuban) dan dinamakan Anggapati. Kedua
berwujud fisik getih (darah) dengan nama Mrajapati. Ketiga berwujud fisik
ari-ari (plasenta) dengan nama Banaspati. Sedangkan yang keempat berwujud fisik
lamas (lapisan lemak yang membungkus janin) dengan nama Banaspati Raja. Keempat
saudara inilah yang dipercaya menemani dan menjaga manusia selama hidupnya, meski
kelak tak ada lagi wujud fisiknya, sehingga harus diperlakukan dengan
hati-hati.
Salah satu yang
biasanya dibawa pulang ke rumah dan dikubur di pekarangan adalah ari-ari.
Ari-ari tersebut pun tak sekadar dikubur, namun diberikan ritual dan dijaga
dengan berbagai benda, seperti ditutup dengan batu, diberi pandan berduri, dan
ditutup dengan keranjang. Bahkan, setiap hari diberikan sesajen dan diberikan
penerangan berupa lampu minyak. “Menjaga Sang Catur Sanak ini penting, karena
untuk menyerang si bayi, bisa saja melalui nyama patnya,” jelas doktor termuda
IHDN tersebut.
Selain itu, biasanya
distanakan pula Sang Hyang Kumara di pelangkiran. Seperti yang tercantum dalam
mitologi, Sang Hyang Kumara atau Sang Hyang Rare Kumara adalah putra Dewa Siwa
yang bertugas menjaga bayi.
Nah, jika segala
perlakuan secara medis maupun ritual telah dilaksanakan, namun si bayi menangis
setiap sandi kala (pergantian waktu), khususnya pada sore hari menjelang malam
atau pada tengah malam, maka tidak menutup kemungkinan ada hal gaib yang mengganggu.
“Bayinya sehat, mengapa
menangis terus. Padahal, susu juga sudah diberikan, ternyata tetap menangis.
Pasti ada faktor lain,” ujarnya.
Dengan demikian, Jro
Dalang Nabe Roby mengatakan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama,
Sang Hyang Rare Kumara setiap hari harus dibantenin (diberikan sesajen) dan
diisi mainan. Demikian pula ari-arinya. “Apabila si bayi masih menangis setiap
jam 12 malam, maka perlu dibuatkan segehan kepelan berisi nasi wong-wongan yang
dihaturkan di bawah tempat tidur si bayi. Itu dihaturkan sebagai upah, agar
tidak si bayi yang diganggu,” paparnya.
Selanjutnya, ia
mengatakan, ada cara lainnya, yakni dengan air klebutan atau air yang diambil
dari mata air langsung atau sumur. Selanjutnya air tersebut dilemparkan ke atap
dapur dan air yang jatuh ditadah dengan kukusan dan diwadahi panci tanah liat.
“Air tersebut kemudian
dipercikkan sebagai tirtha kepada bayi. Itu panugerahan Brahma Geni. Jadi, itu
yang dipakai ngeseng (membakar) energi negatif,” jelasnya.
Selain itu, Jro Dalang
mengatakan, perlu juga pengecekan pekarangan. “Sebelum bayi dibawa ke rumah,
rumah harus dibersihkan dahulu. Terutama di panunggun karang, harus ngatur
piuning dan menyampaikan bahwa akan ada anak kecil di rumah itu dan agar ikut
menjaga,” bebernya.
Dari semua itu, ia
menegaskan, yang paling penting untuk menenangkan bayi adalah sentuhan dan
pelukan seorang ibu. Tidak bisa dipungkiri, antara bayi dan ibu ada ikatan jiwa
dan emosional yang sangat kuat. “Jadi, sentuhan dan pelukan seorang ibu sangatlah
penting,” tandasnya.
Sumber : JawapostGrup
EmoticonEmoticon