Hindu Bersuara - Disamping kuat dalam memegang tradisi/adat,
masyarakat Bali yang mayoritas pemeluk Hindu juga dikenal sebagai masyarakat
yang religius dan taat dalam menjalankan agama. Bagaimana tidak, oleh orang
asing Bali sampai dijuluki “The Island of thousand temple” (=pulau seribu pura)
saking banyaknya Pura (=tempat pemujaan Tuhan dan segala manifestasinya) yang
bisa ditemukan di pulau ini.
Namun, bukan berarti tidak ada orang Bali
yang pindah agama. Justru, setidaknya menurut pengamatan saya, orang Bali yang
semula pemeluk Hindu lah yang lebih banyak pindah ke agama lain dibandingkan
sebaliknya.
Memang, idealnya, sekali memeluk suatu agama
selamanya takkan berubah. Sayangnya, kita tidak hidup di dunia yang serba
ideal. Ada banyak kondisi yang membuat seseorang termasuk orang Bali khirnya
memutuskan untuk pindah agama.
Ilustrasi |
1. Pertama, melaksanakan tanpa memikirkan.
Orang Bali lebih banyak melaksanakan agamanya
dari pada memikirkannya. Ini juga dikatakan oleh Miguel Covarrubias di dalam
bukunya “Island of Bali”. Ini tidak sekedar berarti orang Bali melaksanakan
berbagai ritual saja, tetapi juga di dalam tingkah laku etiknya. Be good! Do
good! Dua hal inilah sebetulnya inti agama Hindu. Itulah yang dilaksanakan oleh
orang Bali. Dan ini saja sebetulnya sudah cukup, asalkan kita hidup di dalam
masyarakat yang homogen (Hindu). Atau di dalam masyarakat majemuk dari
agama-agama Timur. Tetapi ini saja sama sekali tidak cukup bila kita hidup di
dalam masyarakat heterogin, yang terdiri dari agama-agama Kristen dan Islam.
Kenapa? Karena kedua agama ini merupakan agama missi yang agresif.
2. Kedua, hegemoni makna keagamaan.
Konsep dan makna keagamaan dewasa ini
ditentukan oleh agama Kristen dan Islam. Ini adalah hasil dari keaktifan mereka
di dalam wacana keagamaan. Mereka dapat mendiktekan definisi dan menentukan
mana agama yang benar dan mana yang salah. Misalnya soal paham ketuhanan
monotheisme, agama bumi vs agama langit, tentang nabi dll. Orang-orang Bali
(Hindu) karena tidak memiliki pemahaman yang cukup tentang agamanya, apalagi
tentang agama lain, tidak mampu berpartisipasi di dalam wacana ini.
Akibatnya mereka hanya mengikuti saja apa
yang didiktekan oleh agama Kristen dan Islam. Hal paling maksimal yang dapat
dilakukan oleh orang Bali, adalah mematut-matut diri di depan cermin yang
dipasang oleh agama lain (Kristen dan Islam). ini berarti, secara sadar atau
tidak, kita mengakui bahwa agama mereka lebih tinggi,lebih bermutu dari agama
kita. Kita menerima saja konsep yang didiktekan oleh Kristen dan Islam, tanpa
daya kritis sama sekali. Kita mengikuti strategi “saya juga” (me too). Agama
saya juga monoteis, agama saya juga punya nabi, agama saya juga agama langit.
Tetapi konsep yang kita terima secara formal
tidak menemukan pijakan di dalam realitas. Misalnya soal monoteisme, di dalam
praktek kita masih bicara tentang “Betara Pura Rawamangun” “Betara Pura
Bekasi”. Betara Pura Rawamangun “lunga” ke Pura Bekasi, waktu piodalan di
Bekasi. Betara pura Bekasi bersama para Ida Betara di seluruh Jabotabek
“ngiring” Ida Betara Gunung Salak melasti ke Cilicing. Kemudian soal nabi. Kita
sibuk mencari-cari siapa nabi Hindu.
Seharusnya kita mengkaji apa monoteisme itu?
Bagaimana perbandingannya dengan paham ketuhanan yang lain seperti politeisme,
panteisme. Betulkah monoteisme lebih unggul dari paham ketuhanan yang lain? Apa
nabi itu? Bagaimana kehidupan para nabi itu, khususnya kehidupan moralnya, bila
dibandingkan dengan para maharesi Hindu atau para pendiri agama-agama Timur
seperti Mahavira, Buddha, Guru Nanak, Kong Hu Cu, atau dengan para maharesi
baru Hindu seperti Vivekananda, Ramana, Gandhi misalnya.
Demikian juga tentang agama langit dan agama
bumi. Kita seharusnya mempelajari apa isi dari agama-agama ini, apa keunggulan
agama-agama ini? Apakah ia mengajarkan nilai-nilai yang cocok dengan
kemanusiaan dewasa ini? Bagaimana dengan ajaran tentang kebencian dan kekerasan
yang demikian banyak terdapat di dalam kitab suci mereka, dan juga di dalam
praktek kehidupan nyata? Kita tidak mampu melakukan purwa paksa (kritik atas
ajaran agama lain) karena kita tidak memiliki pengetahuan untuk itu. Dan tidak
punya kemauan pula.
Di dalam sebuah wilayah jajahan, si terjajah,
secara terang-terangan atau tersembunyi mengagumi bahkan memuja si penjajah.
Fakta bahwa si pejajah dapat menjajah merupakan bukti bahwa si penjajah lebih
hebat dari si terjajah. Si terjajah, secara diam-diam atau terang-terang ingin
meniru si pejajah. Hal yang di bawah ini contohnya.
3. Ketiga, semua agama sama saja.
Pendapat ini biasanya berkembang di kalangan
para penekun “spritiualitas” tidak semuanya yang kemudian diikuti oleh sebagian
umat Hindu awam. Saya tidak asal menolak pandangan ini. Saya ingin ditunjukkan
bukti atau argumenasi dimana samanya? Apakah ada kesamaan di antara
ajaran-ajaran, doktrin-doktrin, dogma-dogma utama yang merupakan pilar dari
agama-agama itu? Jawaban ini tidak pernah muncul. Jawab yang diberikan biasanya
merujuk kepada “pengalaman”. Yang dimaksud disini adalah pengalaman mistis.
Jawaban ini sama sekali tidak meyakinkan
saya. Pengalaman ini bersifat sangat personal. Berapa banyak orang Hindu yang
mau memiliki pengalaman ini? Dari yang mau berapa banyak yang mampu
memperolehnya? Dari yang mengaku memperolehnya bagaimana ia dapat di verifikasi
atau difalsifikasi? Dan apakah orang-orang dari agama lain juga mencari
pengalaman semacam itu? Saya pikir tidak. Tugas utama dari agama-agama tersebut
adalah mewujudkan perintah kitab suci atau pendirinya untuk membuat agamanya
sebagai satu-satunya agama di dunia. Kita dapat menyebut ini adalah agenda
imperialisme agama. Paham triumpalis ini yang menjadi daya dorong (driving
force) yang melahirkan semangat dan gairah missi dan dakwah dari kedua agama
tersebut. Mereka pergi ke seluruh pelosok dunia untuk mejalankan perintah agung
(great commission) ini.
Sementara pengalaman itu pasti berharga bagi
yang menginginkan dan mendapatkannya, mengatakan bahwa dengan pengalaman itu
saja semua permasalahan dunia dapat diselesaikan, adalah pernyataan yang naïve
dan menyesatkan. Urusan agama apalagi urusan dunia sama sekali bukan hanya soal
pengalaman ini. Kita tidak dapat menyelesaikan suatu tantangan dengan sekedar
lari ke dalam.
Dampak dari kesamenisme banyak dan serius. Di
antaranya adalah, pertama tentu saja, ini mendorong atau tidak menghalangi
orang Bali (Hindu) untuk pindah agama. Bila kita konsekuen dengan dalil bahwa
semua agama sama, seharusnya kita tidak mempermasalahkan dan tidak perlu
melakukan apapun. Kedua, pandangan ini tidak mendorong orang-orang Bali untuk
mempelajari agama-agama lain.
Digabung dengan yang pertama, hal ini
menyebabkan kita semakin tidak mampu terlibat dalam wacana agama, tidak mampu
merespon tantangan yang disampaikan oleh agama-agama yang lain, terutama yang
berkaitan dengan upaya konversi mereka.
Sikap ini, menurut Dr Frank Gaetano Morales,
membuat agama Hindu seperti cermin atau panggung kosong. Siapa saja dapat
bermain di panggung itu, dengan lakonnya sendiri, dengan pemainnya sendiri, di
depan para penonton Hindu atas biaya agama Hindu. Peran Hindu baru dibutuhkan,
jika rombongan asing itu memerlukan satu tokoh antagonis. Tentu tidak aneh bila
para penonton (yang adalah orang-orang Hindu) akan mengagumi dan memilih para pemain
asing itu dari pada pemain Hindu yang hanya berperan sebagai tokoh buruk.
Siapakah yang akan memilih agama, yang justru
mengagungkan agama-agama lain di atas dirinya sendiri? Tanya Dr Morales.
Di samping soal prinsip di atas, dari aspek
citra, pernyataan bahwa semua agama sama saja, yang disampaikan oleh orang
Hindu dalam kedudukan sebagai minoritas, dalam pandangan saya, mirip upaya
orang miskin yang ingin sekali diakui saudara oleh orang kaya, yang justru
terus-menerus menolak dan menghinanya. Siapakah yang ingin mengikuti suatu
agama yang menumbuhkan mental terjajah?
4. Keempat, kemalasan intelektual.
Ketiga hal tersebut di atas menyebabkan kita
terbuai dalam suasana aman dan nyaman. Kita bukan saja tidak mampu, tetapi juga
tidak mau merespon wacana dari agama lain. Kita tidak ingin mengganggu rasa
aman dan nyaman kita. Sekalipun jika rasa aman dan nyaman itu adalah palsu.
Kita telah menjadi malas secara intelektual.
Sumber Artikel : mahayuge, popbali
EmoticonEmoticon