Bali |
Hindu Bersuara, Jakarta - Masuknya Bali dalam tiga
besar “Kota Islami” versi riset Maarif Institute, memunculkan polemik. Riset
Indeks Kota Islami (IKI) ala lembaga milik mantan Ketum PP Muhammadiyah itu
menempatkan Yogyakarta, Bandung dan Denpasar sebagai kota paling Islami.
Pemikir Islam Muhammad Ibnu Masduki menilai, riset
IKI Maarif Institute sangat liberal. “Indikasi kota Islami yang dirilis Maarif
Institute tidak harus harus Islami, tetapi aman, sejahtera dan bahagia. Maarif
coba meninggalkan Islam. Ini sangat liberal,” tegas Ibnu Masduki kepada
intelijen Kemarin (18/05).
Menurut Ibnu Masduki, lembaga milik Syafi’i Maarif
itu ingin menggiring opini menyesatkan, bahwa di kota Islami itu di dalamnya
ada seks bebas dan penjualan miras secara bebas. “Di Bali, tingkat seks bebas
tinggi. Demikian juga peredaran miras. Itu dengan alasan untuk pariwisata,”
ungkap Ibnu Masduki.
Ibnu Masduki menegaskan, kota Islami harus
terintegrasi hubungan baik dengan Pencipta dan sesama manusia.
“Islami itu baik hubungan dengan Allah dan sesama
manusia. Baik sesama manusia terutama dalam pemberantasan korupsi, kebersihan,
pelayanan publik baik. Itu baru Islami, karena menyebut nama Islam. Islami itu
harus integral dan tidak terpisah-pisah,” ungkap Ibnu Masduki.
Sebelumnya Maarif Institute merilis hasil riset
tentang Indeks Kota Islami (IKI). Hasilnya, tiga kota yang dianggap paling
Islami adalah: Yogyakarta, Bandung dan Denpasar.
Sementara itu, pendapat, Cendikiawan Muslim, Didin
Hafidhuddin mengatakan, perlu lebih komprehensif dalam mengakategorikan kota
Islami. Didin menilai, hasil riset Indeks Kota Islami (IKI) yang menempatkan
Denpasar sebagai kota paling Islami perlu dipertanyakan.
"Saya kira ukurannya tidak komprehensif, tidak
menyeluruh," kata Didin menegaskan, saat dihubungi Republika.co.id.
Menurut Didin, seharusnya variabel riset selain
kebersihan, keamanan, dan kesejahteraan faktor lainnya harus dilihat. Seperti
tingkat ibadah masyarakat di masjid.
Didin mempertanyakan disebut kota Islami sementara
tidak banyak masyarakat melaksanakan jamaah di masjid. Seharusnya, kata dia
menegaskan, riset tersebut tidak hanya melihat secara material saja.
"Harus ada sifat ibadahnya," ucap Didin.
(30/5/2016)
Didin khawatir dengan hanya melihat faktor material
masyarakat salah memandang sebagai kota Islami. Istilah kota Islami harus
disempurnakan.
Sedangkan Ketua Dewan Syuro Ikatan Dakwah Indonesia
(Ikadi) Hidayat Nur Wahid mengatakan penilitian Maarif Institute yang menyebut
kota yang menerapkan regulasi syariah tidak dijamin islami harus dijelaskan
dengan lebih detil. Tujuannya agar tidak terjadi kesalahpahaman.
"Terutama definisi dari terminologi Islami
harus disepakati terlebih dahulu agar tidak menjadi perdebatan," ujar
Hidayat.
Menurut Hidayat kriteria yang ditetapkan Maarif
Institute terkait kota islami belum bisa diterima tanpa memasukkan tolak ukur
keislaman itu sendiri. Jika menggunakan istilah islami, maka definisi islami
harus merujuk pada parameter islam.
Contoh, di kota tersebut tidak ada perjudian,
perzinahan, peredaran minuman keras dan obat terlarang. Tindakan ini nyata
dilarang dalam Islam. Kalau hal ini dijadikan tolok ukur, kata Hidayat, maka
hasilnya akan berbeda.
"Bahwa satu kota itu aman, sejahtera dan
bahagia dibanding kota lain itu bisa saja. Tetapi, apakah itu yang islam dan
islami? Ini masih menjadi perdebatan apalagi ketika dihadapkan dengan perda
syariah," kata Hidayat.* (intelijen/republika.co.id/eramuslim/has)
Sumber: mimbarberita
http://www.mimbarberita.com/berita-masa-bali-masuk-kota-islami.html#ixzz4A6qAqI4z
EmoticonEmoticon