-->
logo blog

Sunday, May 29, 2016

What tidak salah Bali Masuk Kota Paling Islami di Indonesia?

Bali
Hindu Bersuara, Jakarta - Masuknya Bali dalam tiga besar “Kota Islami” versi riset Maarif Institute, memunculkan polemik. Riset Indeks Kota Islami (IKI) ala lembaga milik mantan Ketum PP Muhammadiyah itu menempatkan Yogyakarta, Bandung dan Denpasar sebagai kota paling Islami.

Pemikir Islam Muhammad Ibnu Masduki menilai, riset IKI Maarif Institute sangat liberal. “Indikasi kota Islami yang dirilis Maarif Institute tidak harus harus Islami, tetapi aman, sejahtera dan bahagia. Maarif coba meninggalkan Islam. Ini sangat liberal,” tegas Ibnu Masduki kepada intelijen Kemarin (18/05).

Menurut Ibnu Masduki, lembaga milik Syafi’i Maarif itu ingin menggiring opini menyesatkan, bahwa di kota Islami itu di dalamnya ada seks bebas dan penjualan miras secara bebas. “Di Bali, tingkat seks bebas tinggi. Demikian juga peredaran miras. Itu dengan alasan untuk pariwisata,” ungkap Ibnu Masduki.

Ibnu Masduki menegaskan, kota Islami harus terintegrasi hubungan baik dengan Pencipta dan sesama manusia.

“Islami itu baik hubungan dengan Allah dan sesama manusia. Baik sesama manusia terutama dalam pemberantasan korupsi, kebersihan, pelayanan publik baik. Itu baru Islami, karena menyebut nama Islam. Islami itu harus integral dan tidak terpisah-pisah,” ungkap Ibnu Masduki.

Sebelumnya Maarif Institute merilis hasil riset tentang Indeks Kota Islami (IKI). Hasilnya, tiga kota yang dianggap paling Islami adalah: Yogyakarta, Bandung dan Denpasar.

Sementara itu, pendapat, Cendikiawan Muslim, Didin Hafidhuddin mengatakan, perlu lebih komprehensif dalam mengakategorikan kota Islami. Didin menilai, hasil riset Indeks Kota Islami (IKI) yang menempatkan Denpasar sebagai kota paling Islami perlu dipertanyakan.
"Saya kira ukurannya tidak komprehensif, tidak menyeluruh," kata Didin menegaskan, saat dihubungi Republika.co.id.

Menurut Didin, seharusnya variabel riset selain kebersihan, keamanan, dan kesejahteraan faktor lainnya harus dilihat. Seperti tingkat ibadah masyarakat di masjid.
Didin mempertanyakan disebut kota Islami sementara tidak banyak masyarakat melaksanakan jamaah di masjid. Seharusnya, kata dia menegaskan, riset tersebut tidak hanya melihat secara material saja.

"Harus ada sifat ibadahnya," ucap Didin. (30/5/2016)
Didin khawatir dengan hanya melihat faktor material masyarakat salah memandang sebagai kota Islami. Istilah kota Islami harus disempurnakan.

Sedangkan Ketua Dewan Syuro Ikatan Dakwah Indonesia (Ikadi) Hidayat Nur Wahid mengatakan penilitian Maarif Institute yang menyebut kota yang menerapkan regulasi syariah tidak dijamin islami harus dijelaskan dengan lebih detil. Tujuannya agar tidak terjadi kesalahpahaman.
"Terutama definisi dari terminologi Islami harus disepakati terlebih dahulu agar tidak menjadi perdebatan," ujar Hidayat.

Menurut Hidayat kriteria yang ditetapkan Maarif Institute terkait kota islami belum bisa diterima tanpa memasukkan tolak ukur keislaman itu sendiri. Jika menggunakan istilah islami, maka definisi islami harus merujuk pada parameter islam.

Contoh, di kota tersebut tidak ada perjudian, perzinahan, peredaran minuman keras dan obat terlarang. Tindakan ini nyata dilarang dalam Islam. Kalau hal ini dijadikan tolok ukur, kata Hidayat, maka hasilnya akan berbeda.

"Bahwa satu kota itu aman, sejahtera dan bahagia dibanding kota lain itu bisa saja. Tetapi, apakah itu yang islam dan islami? Ini masih menjadi perdebatan apalagi ketika dihadapkan dengan perda syariah," kata Hidayat.* (intelijen/republika.co.id/eramuslim/has)



Sumber: mimbarberita
              http://www.mimbarberita.com/berita-masa-bali-masuk-kota-islami.html#ixzz4A6qAqI4z


EmoticonEmoticon