Sesajen untuk Keselarasan Kosmos, Bukan Penyembahan |
Hindu Bersuara,Yogyakarta
- Peneliti Studi Agama dan Lintas Agama UGM, Dr. Samsul Maarif, melayangkan
kritik pada kategori kultur – natur yang kerap digunakan dalam memandang
agama-agama lokal. Bahkan, kata Samsul, kategori ini ‘hancur’ dalam perspektif
penganut agama-agama lokal.
“Karena (dalam agama
lokal) yang ber-kultur itu juga pohon,” kata peneliti agama lokal ini sambil
menjelaskan bahwa manusia juga sejatinya masuk dalam kategori natur.
Samsul lalu menjelaskan
kategori yang umum dipakai ini sehingga agama lokal kerap dituding Animisme.
Manusia yang masuk dalam kategori kultur, jika berelasi dengan sesuatu yang
dianggap supra-natural dinamakan ‘menyembah’. Kultur, jika berelasi dengan
‘natur’ disifatkan sebagai eksploitatif atau menjaga.
“Nah, ketika seseorang
(agama lokal) datang ke hutan, disebut relasinya dengan natur. Teori Animisme
mengatakan tidak mungkin manusia datang ke pohon kecuali di situ ada spirit
(ruh),” katanya di depan peserta seminar yang bertajuk ‘Esoterisme Islam,
Agama-agama Lokal dan Islam Jawa’ di Yogyakarta, Kemarin (17/5).
Dengan demikian,
menurut teori Animisme, mereka yang ‘ziarah’ ke pohon tertentu sejatinya
berelasi dengan ruh yang ada di balik pohon. Karena itu, hubungan ini masuk
dalam kategori supra-natural atau dalam bahasa ‘agama dunia’ disebut
penyembahan.
“Orang-orang Kristen
dan Islam memahami, yang boleh disembah itu hanya Tuhan. Maka, syirik-lah
mereka,” katanya dengan memberikan contoh ritual sesajen yang dituding syirik
karena cara pandang yang tidak tepat dalam memahami agama-agama lokal.
Jebolan Arizona State
University ini menjelaskan bahwa ada karakter umum yang dimiliki oleh
agama-agama lokal atau yang biasa disebut ‘indigenous religions’ di berbagai
negara seperti di Afrika, India dan Indonesia. Untuk menangkap karakter itu,
Samsul menawarkan cara pandang ‘relasi inter-personal’ sebagaimana yang pernah
diajukan peneliti Nurit Bird-David. Apa yang dikenal sebagai spritualitas dalam
agama dunia, realitas yang sama dalam agama lokal bisa ditinjau dari cara
pandang ‘relasi inter-personal’.
“Sepanjang sejarah,
dalam melihat agama lokal, umumnya menggunakan paradigma agama-agama besar atau
agama dunia seperti Islam dan Kristen. Sehingga seringkali dalam melihat agama
lokal selalu berada dalam bayang-bayang agama dunia,” katanya
Relasi inter-personal
juga bisa melihat bahwa tujuan agama-agama lokal itu sejatinya adalah
keseimbangan kosmos (alam). Jika tujuan eskatologis penganut agama-agama dunia
itu adalah surga, dalam agama lokal, yang menjadi arah penganutnya, ialah
keselarasan kosmos.
“Selaras berarti damai
di hati, damai di jiwa, enaklah pokoknya,” katanya sambil menjelaskan ‘hidup
enak’ menurut agama lokal ketika segala entitas kosmos itu bergerak selaras dan
memainkan perannya sesuai dengan kapasitas kodratnya masing-masing.
Setiap entitas wujud
ketika memahami dirinya, maka ia pun akan memahami di luar dirinya. Sedemikian
sehingga setiap entitas wujud senantiasa menentukan entitas wujud lain dalam
relasi kosmos. “Kalau filsuf Rene Descartes bilang, ‘aku berpikir maka aku
ada’, maka teori penganut agama lokal atau adat, ‘aku berelasi maka aku ada,”
katanya sambil menjelaskan eksistensi seseorang sangat ditentukan oleh relasi
dengan yang lain.
Dan semua wujud yang
menentukan wujud lainnya disebut person, apapun kapasitas dan perannya di alam
ini. “Person, menurut penganut agama lokal, bisa dalam wujud manusia, bisa juga
dalam wujud selain manusia.”
Person yang menyadari
peran dan relasi dengan sekitarnya yang dengannya kosmos bisa selaras disebut
‘hero’ atau religius. Person dengan karakter ini melahirkan etika tanggungjawab
atau penyelaras. Adapun person yang tidak menyadari perannya – karenanya tidak
berelasi sebagaimana mestinya, – hingga menyebabkan kosmos tidak selaras
disebut ‘monster’ atau ireligius.
Etika tanggung jawab
bagi penganut agama lokal terwujud antara lain dengan prinsip timbal-balik.
Sebagaimana halnya sesajen, bila seorang telah mengambil suatu dari alam maka
dia wajib memberi balik ke alam. Seorang penganut agama lokal memahami tanah
‘adat’ sebagai person lain yang karenanya dia bisa berelasi dan eksis, sehingga
kehilangan tanah sama artinya dengan merenggut satu bagian penting dari
eksistensinya.
Adapun bentuk ‘ritual’
di dalam berbagai masyarakat adat yang bermacam-macam seperti ke pohon
tertentu, gunung, batu, atau ke hutan, “hal ini disebabkan pengenalan sang
person ke wujud-wujud yang lain sangat personal.”
Jika seseorang
senantiasa ‘ziarah’ ke batu, anaknya belum tentu melakukan hal yang sama.
Karena sang anak bisa saja tidak ‘mengenal’ batu yang telah dikenal secara
personal oleh ayahnya. Pohon, lanjut Samsul memberi contoh, diyakini memiliki
peran khusus dalam kosmos sehingga dianggap sebagai ‘person’. Ketika pohon
dianggap person, maka relasi penganut agama lokal kepada pohon adalah relasi
inter-personal.
“Hal ini berbeda dengan
teori yang banyak dipakai, yaitu teori Animisme. Dimana orang percaya bahwa
dibalik pohon itu ada ruh. Bukan ada ruh di balik pohon, tapi relasi itu
sendiri mengandung spirit,” katanya sambil menggambarkan apa yang ia saksikan
di Tana Toa “Ammatoa”, pedalaman Sulawesi Selatan.
Pembaharuan atau
penyegaran relasi ini biasanya dilakukan secara ritual oleh masyarakat adat.
contohnya, orang yang mau menghuni rumah baru, ada ritualnya. Seseorang yang
hamil 7 bulan juga ada ritualnya dan seterusnya. Selain itu, ritual yang
umumnya dilakukan bersama-sama oleh masyarakat setempat ini, juga bertujuan
memberi kesempatan bagi yang ingin mencari “kenalan baru” yang dengannya ia
dapat berelasi. Dan dengan hubungan yang baru ini mereka bisa berkontribusi
pada penyelarasan kosmos.
“Bagi saya, jika
ditelusuri genealoginya, (makna) agama dan adat di Indonesia sama saja
sebenarnya. Politiklah yang membedakan keduanya. Dari sisi kajian sejarahnya
sama, Belanda dan Orde Baru yang membeda-bedakannya.”
Berkat pandangan dunia
agama-agama lokal pada alam ini, menurut Samsul, belakangan dipandang sebagai
satu alternatif yang tidak bisa diabaikan dalam perbincangan soal krisis
ekologi dan pelestarian alam. Di sisi lain, karena berada di luar agama-agama
dunia, agama-agama lokal kerap dipandang sebagai ‘agama marginal’. Diakui
keberadaannya, tapi disikapi secara marginal. Mereka tidak jarang mendapat
hambatan administratif dalam mendapatkan hak dasarnya sebagai warga negara
hanya karena tidak menganut agama yang diakui Negara
Sumber : http://islamindonesia.id/budaya/peneliti-agama-lokal-sesajen-untuk-keselarasan-kosmos-bukan-penyembahan.htm
EmoticonEmoticon