-->
logo blog

Monday, May 30, 2016

Menurut Peneliti Agama Lokal Sesajen Merupakan Keselarasan Bhuana Agung Dan Bhuana Alit, Bukan Penyembahan

Sesajen untuk Keselarasan Kosmos, Bukan Penyembahan
Hindu Bersuara,Yogyakarta - Peneliti Studi Agama dan Lintas Agama UGM, Dr. Samsul Maarif, melayangkan kritik pada kategori kultur – natur yang kerap digunakan dalam memandang agama-agama lokal. Bahkan, kata Samsul, kategori ini ‘hancur’ dalam perspektif penganut agama-agama lokal.

“Karena (dalam agama lokal) yang ber-kultur itu juga pohon,” kata peneliti agama lokal ini sambil menjelaskan bahwa manusia juga sejatinya masuk dalam kategori natur.
Samsul lalu menjelaskan kategori yang umum dipakai ini sehingga agama lokal kerap dituding Animisme. Manusia yang masuk dalam kategori kultur, jika berelasi dengan sesuatu yang dianggap supra-natural dinamakan ‘menyembah’. Kultur, jika berelasi dengan ‘natur’ disifatkan sebagai eksploitatif atau menjaga.

“Nah, ketika seseorang (agama lokal) datang ke hutan, disebut relasinya dengan natur. Teori Animisme mengatakan tidak mungkin manusia datang ke pohon kecuali di situ ada spirit (ruh),” katanya di depan peserta seminar yang bertajuk ‘Esoterisme Islam, Agama-agama Lokal dan Islam Jawa’ di Yogyakarta, Kemarin (17/5).

Dengan demikian, menurut teori Animisme, mereka yang ‘ziarah’ ke pohon tertentu sejatinya berelasi dengan ruh yang ada di balik pohon. Karena itu, hubungan ini masuk dalam kategori supra-natural atau dalam bahasa ‘agama dunia’ disebut penyembahan.

“Orang-orang Kristen dan Islam memahami, yang boleh disembah itu hanya Tuhan. Maka, syirik-lah mereka,” katanya dengan memberikan contoh ritual sesajen yang dituding syirik karena cara pandang yang tidak tepat dalam memahami agama-agama lokal.

Jebolan Arizona State University ini menjelaskan bahwa ada karakter umum yang dimiliki oleh agama-agama lokal atau yang biasa disebut ‘indigenous religions’ di berbagai negara seperti di Afrika, India dan Indonesia. Untuk menangkap karakter itu, Samsul menawarkan cara pandang ‘relasi inter-personal’ sebagaimana yang pernah diajukan peneliti Nurit Bird-David. Apa yang dikenal sebagai spritualitas dalam agama dunia, realitas yang sama dalam agama lokal bisa ditinjau dari cara pandang ‘relasi inter-personal’.

“Sepanjang sejarah, dalam melihat agama lokal, umumnya menggunakan paradigma agama-agama besar atau agama dunia seperti Islam dan Kristen. Sehingga seringkali dalam melihat agama lokal selalu berada dalam bayang-bayang agama dunia,” katanya

Relasi inter-personal juga bisa melihat bahwa tujuan agama-agama lokal itu sejatinya adalah keseimbangan kosmos (alam). Jika tujuan eskatologis penganut agama-agama dunia itu adalah surga, dalam agama lokal, yang menjadi arah penganutnya, ialah keselarasan kosmos.

“Selaras berarti damai di hati, damai di jiwa, enaklah pokoknya,” katanya sambil menjelaskan ‘hidup enak’ menurut agama lokal ketika segala entitas kosmos itu bergerak selaras dan memainkan perannya sesuai dengan kapasitas kodratnya masing-masing.
Setiap entitas wujud ketika memahami dirinya, maka ia pun akan memahami di luar dirinya. Sedemikian sehingga setiap entitas wujud senantiasa menentukan entitas wujud lain dalam relasi kosmos. “Kalau filsuf Rene Descartes bilang, ‘aku berpikir maka aku ada’, maka teori penganut agama lokal atau adat, ‘aku berelasi maka aku ada,” katanya sambil menjelaskan eksistensi seseorang sangat ditentukan oleh relasi dengan yang lain.
Dan semua wujud yang menentukan wujud lainnya disebut person, apapun kapasitas dan perannya di alam ini. “Person, menurut penganut agama lokal, bisa dalam wujud manusia, bisa juga dalam wujud selain manusia.”

Person yang menyadari peran dan relasi dengan sekitarnya yang dengannya kosmos bisa selaras disebut ‘hero’ atau religius. Person dengan karakter ini melahirkan etika tanggungjawab atau penyelaras. Adapun person yang tidak menyadari perannya – karenanya tidak berelasi sebagaimana mestinya, – hingga menyebabkan kosmos tidak selaras disebut ‘monster’ atau ireligius.
Etika tanggung jawab bagi penganut agama lokal terwujud antara lain dengan prinsip timbal-balik. Sebagaimana halnya sesajen, bila seorang telah mengambil suatu dari alam maka dia wajib memberi balik ke alam. Seorang penganut agama lokal memahami tanah ‘adat’ sebagai person lain yang karenanya dia bisa berelasi dan eksis, sehingga kehilangan tanah sama artinya dengan merenggut satu bagian penting dari eksistensinya.

Adapun bentuk ‘ritual’ di dalam berbagai masyarakat adat yang bermacam-macam seperti ke pohon tertentu, gunung, batu, atau ke hutan, “hal ini disebabkan pengenalan sang person ke wujud-wujud yang lain sangat personal.”
Jika seseorang senantiasa ‘ziarah’ ke batu, anaknya belum tentu melakukan hal yang sama. Karena sang anak bisa saja tidak ‘mengenal’ batu yang telah dikenal secara personal oleh ayahnya. Pohon, lanjut Samsul memberi contoh, diyakini memiliki peran khusus dalam kosmos sehingga dianggap sebagai ‘person’. Ketika pohon dianggap person, maka relasi penganut agama lokal kepada pohon adalah relasi inter-personal.

“Hal ini berbeda dengan teori yang banyak dipakai, yaitu teori Animisme. Dimana orang percaya bahwa dibalik pohon itu ada ruh. Bukan ada ruh di balik pohon, tapi relasi itu sendiri mengandung spirit,” katanya sambil menggambarkan apa yang ia saksikan di Tana Toa “Ammatoa”, pedalaman Sulawesi Selatan.

Pembaharuan atau penyegaran relasi ini biasanya dilakukan secara ritual oleh masyarakat adat. contohnya, orang yang mau menghuni rumah baru, ada ritualnya. Seseorang yang hamil 7 bulan juga ada ritualnya dan seterusnya. Selain itu, ritual yang umumnya dilakukan bersama-sama oleh masyarakat setempat ini, juga bertujuan memberi kesempatan bagi yang ingin mencari “kenalan baru” yang dengannya ia dapat berelasi. Dan dengan hubungan yang baru ini mereka bisa berkontribusi pada penyelarasan kosmos.

“Bagi saya, jika ditelusuri genealoginya, (makna) agama dan adat di Indonesia sama saja sebenarnya. Politiklah yang membedakan keduanya. Dari sisi kajian sejarahnya sama, Belanda dan Orde Baru yang membeda-bedakannya.”

Berkat pandangan dunia agama-agama lokal pada alam ini, menurut Samsul, belakangan dipandang sebagai satu alternatif yang tidak bisa diabaikan dalam perbincangan soal krisis ekologi dan pelestarian alam. Di sisi lain, karena berada di luar agama-agama dunia, agama-agama lokal kerap dipandang sebagai ‘agama marginal’. Diakui keberadaannya, tapi disikapi secara marginal. Mereka tidak jarang mendapat hambatan administratif dalam mendapatkan hak dasarnya sebagai warga negara hanya karena tidak menganut agama yang diakui Negara


Sumber : http://islamindonesia.id/budaya/peneliti-agama-lokal-sesajen-untuk-keselarasan-kosmos-bukan-penyembahan.htm


EmoticonEmoticon