Tradisi Cabit-Cabit Mayat |
Hindu Bersuara - Tradisi yang dilakuakan masyarakat Desa Tampaksiring, Gianyar Mayat
yang tengah digarap itu dicabik-cabik oleh warga menggunakan gigi, ada juga
pakai tangan.
Setelah
tiba di sungai dekat kuburan, pencabik melepaskan mayat dari joli untuk
dipermainkan. Dibawa lari ke sana-sini. Setelah capek, barulah mayat
dikremasi," kata I Ketut Darta, usai tradisi ngarap mayat di banjarnya, 2 Tahun lalu Minggu (30/11/2014) pagi.
Pria
yang menjabat sebagai Kelian Dinas dan Adat Banjar Buruan, Desa Tampaksiring,
Gianyar ini, mengatakan, pelaksanaan tradisi tersebut dilakukan setiap ada
warga yang menghelat ritual ngaben secara personal.
"Di
sini ada sistem ngaben kolektif dan ngaben pribadi. Bisa saja orang yang
meninggal itu dikubur. Tapi kan itu juga harus sesuai dengan hari baik. Kalau
tidak ada hari baik untuk mengubur mayat, maka harus ngaben langsung atau
ngaben pribadi. Saat ngaben pribadi inilah, tradisi ngarap dijalankan,"
ujarnya ramah.
Disebut
Ketut Darta, tidak ada sastra tertulis yang menjelaskan tentang keberadaan
tradisi ini.
Namun,
menurut penuturan para tetua di Banjar Buruan, tradisi ini muncul karena pada
zaman dahulu sebelum ada formalin, setiap mayat baunya sangat menyengat.
Sampai-sampai
warga tidak bisa membawa ke kuburan.
Karena keadaan tersebut, muncul ide untuk melupakan bau busuk, krama
mengarak sambil mempermainkan mayat itu.
Agar tidak ngadek (mencium) bau busuk saat mengarak, makanya ngarap
(mempermainkan mayat)," ujar pensiunan guru SDN 4 Tampaksiring itu.
Pria yang sudah menjabat sebagai kelian sejak tahun 2009 ini, mengatakan
saat ngarap, warga tidak memandang kasta.
Apabila mereka menggunakan sistem ngaben personal untuk upacara Pitra
Yadnya, tetap akan diperlakukan sama.
"Tapi kalau pemangku atau sulinggih, kami pergunakan suatu taktik
supaya warga tidak ngarap. Taktinya adalah menggelar ritual mekingsan ring gni.
Kalau tidak begitu bisa runyam masalahnya," tandasnya.
Warga Luar Tanpa Sadar Bisa Dikeroyok
Kelian yang memimpin 240 kepala keluarga (KK) ini mengatakan, yang boleh
ikut dalam tradisi ngarak ini hanya warga setempat.
Bila ada warga luar yang ikut, akibatnya fatal. Sebab secara tidak sadar,
massa akan mengeroyok orang itu.
Tradisi ngarak saat ini sudah sedikit mendingan. Tahun 1980-an, mayat
sampai dikeluarkan dari kaputnya.
Untuk mengantisivasi hal itu lagi, pihak keluarga dan prajuru banjar
melapisi mayat dengan banyak pembungkus. Di antaranya, tikar, kain, diikat
rantai lebar 5 cm, dan dikaput lagi pakai tikar, kain dan diikat lagi
menggunakan rantai 3 cm.
"Pengaputan ini juga untuk menghindarkan warga dari penyakit. Siapa
tahu sewaktu masih hidup, mayat itu punya penyakit menular," ungkap pria
kelahiran 31 Desember 1948 ini.
Pemuda setempat, I Ketut Rudita (29) mengaku gemar mencabik jasad orang
meninggal menggunakan giginya.
Ia mengatakan tidak ada rasa apapun saat menggigit mayat.
"Biasa saja kok. Soalnya saat melakukan itu, saya setengah
sadar," ungkapnya.
Sumber : tribunnews.com
EmoticonEmoticon